TAWAKKAL Sirat (47), pemilik Rumah Makan (RM) Paotere, lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Sirat Daeng Pasolong, hanya penjual tas di Pasar Butung, Makassar.
Ketika menginjak usia lima tahun, 1971, Tawakkal sudah ditinggal ayahnya untuk selama-lamanya. Peninggalan dari sang ayah yang hanya pedagang kecil itu tak bisa menjadi tumpuan Tawakkal.
Sejak kepergian sang ayah, ibu Tawakkal, Ugi Daeng Jenne, menambah kesibukannya dari sekadar ibu rumah tangga menjadi juragan becak. Usaha becak dijalankan guna mencari biaya hidup keluarga setelah suaminya meninggal. Ibunda Tawakkal kala itu, memiliki 40 becak dan disewakan kepada prang lain.
Sepuluh tahun setelah Sirat meninggal, Ugi menyusul. Tawakkal menjadi yatim-piatu. Tak ada lagi tulang punggung keluarga. Dirinya pun harus banting tulang membiayai hidupnya dan adiknya Hasnah Sirat. Tiga saudara lainnya meninggal saat masih anak-anak.
Pamannya, Haji Daeng Gassing (85), rupanya iba terdahap Tawakkal. Rumah Tawakkal dengan rumah pamannya, tak jauh, di wilayah Ujungtanah, kawasan pesisir.
Daeng Gassing pun mengajak pria kelahiran Ujungpandang, 17 Maret 1965, itu tinggal di rumahnya seraya meminta bantuan mengelola usaha. Usaha dijalankan, yakni warung makan kaki lima di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere, Makassar.
Mulai saat itu, sekitar tahun 1980, Tawakkal pun mulai belajar mengelola warung makan, meracik bumbu, memasak, dan menghidangkan makanan kepada pelanggan.
“Waktu itu, saya masih SMP, sekolah sambil kerja di warung. Sekarang, tidak ada lagi anak-anak mau begitu, gengsi-mi,” kenangnya seraya tertawa dalam perbincangan santai dengan Tribun di rumah makan barunya, RM Paotere, Jl Perintis Kemerdekaan, Tamalanrea, Makassar, Senin (17/9).
Dari situlah, alumnus SMP Negeri 7 Makassar ini belajar mengelola warung makan. Bekerja di warung sepulang sekolah tak sulit dijalaninya. Sekolahnya di Jl Cakalang, tak jauh dari tempat tinggalnya sekaligus warung, Jl Sabutung.
Setamat SMP, Tawakkal melanjutkan pendidikannya pada sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi. Selain mengandalkan hasil keringat, ia juga mengandalkan hasil panen lima petak sawah di kampungnya, Labakkang, Pangkep, membiayai pendidikannya.
Hingga kuliah pada Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen LPI, Makassar, memilih program studi perbankan dan keuangan, Tawakkal tetap tak gengsi berjualan hidangan laut sambil kuliah hingga tamat. Sebelum atau sepulang kuliah, pelanggan dilayani.
Warung pamannya tak menyediakan lauk. Hanya menyediakan nasi, lalapan, dan sayur. Pelanggan menyediakan ikan, cumi, atau udang segar. Lalu dibakar dan disantap di warung tersebut.
“Dulu, begitu modelnya (layanannya), karena pembeli adalah orang yang membeli ikan di lelong (TPI Paotere). Mereka (tubuhnya) bau ikan, kakinya berlumpur, tidak pakai sandal. Isitilahnya paku lonting,” kata Tawakkal mengenakan kaos polo hitam ketat di meja makan, usai peresmian rumah makannya, kemarin.
Sekitar 12 tahun ikut mengelola warung pamannya, Tawakkal mendapatkan banyak pengalaman dan pengetahuan berbisnis kuliner laut (seafood). Ia pun mencoba mengambil alih usaha pamannya dan memindahkan di tempat tak jauh dari tempat semula.
Anak ketiga dari lima bersaudara ini meminta pamannya kembali ke kampung di Labakkang, untuk beristirahat. Hingga akhir hayat, dirinya selalu siap membiayai hidup pamannya. Tawakkal tak tega pamannya masih bekerja di warung pada usianya yang sudah lanjut.
Dari kaki lima di kolong rumah menjadi rumah makan di bangunan rumah toko atau ruko. Bagunan ruko itu disewa sebab belum memiliki modal cukup. Tempatnya pun bersih dan tak lagi dipenuhi lalat serta bau menyengat.
Rumah makan diberi nama Paotere, sesuai alamanya. Sebelumnya tanpa nama, mulai beroperasi pada tahun 1992. Segmentasi pelanggan pun berubah. Dari paku lonting menjadi orang bermobil.
Di antara deretan pelanggan, ada keluarga Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud. Dari situlah Tawakkal berkenalan dengan kedua pengusaha sekaligus pejabat itu. Kalla kala itu masih memimpin NV Hadji Kalla (sekarang Kalla Group), sedangkan Aksa masih memimpin PT Bosowa Berlian Motor, diler mobil merek Mistubishi.
Kalla dan Aksa tak hanya sekadar makan, namun juga mengajari Tawakkal mengelola usaha sehingga dapat berkembang pesat. Sebelum atau sesudah makan, Kalla dan Aksa selalu memanggilnya berbagi kiat sukses.
“Pak Aksa memaksa saya agar harus membeli ruko itu. Tak boleh disewa. Setiap ketemu, saya dipaksa beli ruko itu. Alhamdulillah, akhirnya saya beli seharga Rp 675 juta pada tahun 1997,” ujarnya menceritakan sosok Aksa dan Kalla yang tak bisa dihapus dalam diari suksesnya.
Melihat RM Paotere kian populer dan ramai pengunjung, pada tahun 2011, manajemen Grand Clarion Hotel and Convention Center mengajak Tawakkal membuka rumah makan dengan nama serupa di Jl Andi Pangerang Petta Rani.
Sumber : makassar.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar