Kamis, 11 Juli 2013

Dibalik Sukses Rumah Makan Ayam Lepas

Tidak gampang putus asa adalah salah satu kunci sukses dalam menjalankan usaha. Karakter inilah yang kental tergambar pada kepribadian pemilik usaha rumah makan Ayam Lepaas, Suparno. Hanya dalam tiga tahun, dia mampu memiliki lebih dari 80 gerai.

Namanya mungkin terdengar singkat dan sederhana, Suparno. Namun dengan kesederhanaan itulah, dia melafalkan bisnis hingga mencapai sukses. Lelaki kelahiran Deli Serdang ini mampu membangun gurita usaha rumah makan Ayam Lepaas. 

Rumah makan yang dirintis di Aceh ini kini berkembang pesat di Pulau Jawa, khususnya di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sejak tahun 2009 hingga Maret 2013, Suparno sudah memiliki 81 gerai Ayam Lepaas.

Lelaki kelahiran 31 Desember 1976 ini juga mengembangkan usahanya ke Yogyakarta, Bali, hingga ke Malaysia. “Selain pulau besar di Indonesia, tahun ini kami sudah bersiap untuk membuka Ayam Lepaas di Filipina,” kata dia. Untuk tahun ini saja, Suparno berambisi membuka 40 gerai–50 gerai.

Suparno baru menerapkan sistem kerja sama dalam wujud penanaman modal, bukan berupa kemitraan atau waralaba. Menurut pengakuan Suparno, paling lama dalam waktu 25 bulan, modal investor senilai Rp 300 juta hingga Rp 500 juta untuk mengembangkan satu gerai, sudah bisa kembali. “Di awal usaha, omzet usaha ini hanya ratusan ribu per hari. Sekarang, ya, sudah sesuai targetlah,” kata Suparno.

Sambil memainkan telepon genggamnya, Suparno bercerita, “Sejak di SMP saya sudah belajar bisnis, maklum orang tua saya hanya seorang petani. Sebelumnya, sekitar tahun 1960-an, ayah saya hanya seorang tenaga kontrak perkebunan,” kisah Suparno sambil tetap tersenyum. Sejak SMP hingga SMA, Suparno sudah mulai menjual berbagai hal seperti kue, tempe, hasil bumi, dan kaus.

Bangkit dari keterpurukan
Selama tinggal di Aceh, Suparno sudah menjadi pengungsi hingga dua kali yakni tahun 1990 dan 1998. “Pada konflik tahun 1998, saya pilih menetap di Aceh, sementara orang tua mengungsi ke Binjai, Medan. Saya bertahan karena mau kuliah,” jelas lulusan Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini.
Bersama tujuh orang temannya, dia membuka usaha les privat sempoa pada tahun 2001. Dengan modal Rp 500.000 usaha itu berhasil menggaet sekitar 1.500 siswa. Namun karena berselisih dengan rekannya, Suparno lantas meninggalkan usaha les privat itu pada tahun 2003.

Suparno banting setir jadi agen asuransi. Profesi itu dilakoninya selama dua tahun. Setelah itu, Suparno mendirikan sebuah koperasi. Tahun 2004 hingga 2005 di Aceh masih berstatus darurat militer serta  kondisi konflik yang mengakibatkan ekonomi Aceh terpuruk. Tapi, kondisi tersebut malah jadi berkah. “Saya memilih mendirikan koperasi simpan pinjam untuk menggerakkan ekonomi,” kata Suparno.

Tahun 2006, Suparno pun mulai menyusun segala dokumen untuk mendirikan koperasi. Ketika dokumen siap, tsunami melanda Aceh. Rencana batal karena semua warga disibukkan dengan pemulihan Aceh. Tapi tak disangka, tetap ada orang yang mau memodali Suparno sebesar Rp 2 miliar untuk mendirikan koperasi. Suparno memiliki 2.000 nasabah, namun 95% dari pinjaman nasabah tergolong kredit macet. 

Meski demikian, dia tidak putus asa dan mencoba menjalankan bisnis lain. Dia pun ikut waralaba rumah makan ayam bakar dengan modal Rp 50 juta. “Usaha ini cukup berhasil. Saya coba membuka usaha serupa dengan nama sendiri. Modal yang saya siapkan Rp 500 juta untuk membangun dua rumah makan,” kenang dia.

Eh, sebelum rumah makan terwujud, uang itu lenyap gara-gara ditipu temannya. “Saya stres luar biasa, butuh enam bulan untuk bangkit,” ujarnya. 

Sungguh malang karena Suparno harus kena tipu lagi sebesar Rp 15 juta. Ketika ingin menjajal bisnis mebel pun dia kena tipu hingga Rp 1,3 miliar. Alhasil, Suparno mengingat, selama tahun 2007 dia menjadi korban penipuan hingga total senilai Rp 3 miliar.  

Belum cukup, pada tahun 2008, Suparno mengalami kecelakaan yang cukup serius. “Kompletlah apa yang saya rasakan, tertipu, kecelakaan, dan tahun 2008 rumah makan dengan sistem waralaba yang saya ikuti itu pun putus kontrak,” kenangnya.

Suparno bingung bukan kepalang. Dia sudah memiliki pelanggan tetapi dia tidak bisa memasak ayam bakar seperti yang ia jual selama ini.  “Kalau waralaba kan tidak pusing dengan resep. Nah, ketika kontrak kerja sama dengan waralaba itu habis, bingunglah saya karena tidak tahu resep sama sekali,” ujar dia sambil tertawa lepas. 

Tapi, Suparno tidak putus asa. Dia memutuskan untuk tetap berjualan ayam goreng dengan bumbu yang masih uji coba. “Kami minta maaf ke pelanggan karena rasa ayam goreng kami belum konsisten,” ujarnya. Pada 10 November 2009, Suparno  menggunakan nama Ayam Lepaas sebagai bendera usahanya. Bumbu sederhana racikan Suparno, ternyata, memikat lidah banyak pengunjung.

Konsep bisnis Ayam Lepaas yang sederhana, dari sisi menu dan penyajian, justru membuat usaha ini berkembang dengan  cepat. “Orang makan itu butuh enak, cepat penyajiannya, dan harga cocok di kantong,” kata ayah dari lima anak ini tentang kunci sukses Ayam Lepaas.

Sumber: smartbisnis.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label