Bihun jagung, mungkin, hanya produk sederhana. Namun, ternyata, pengolah produk ini mampu meraih sukses besar. Adalah Teddy Tjokrosaputro tokoh yang berhasil mengenalkan produk olahan sederhana ini ke khalayak di Tanah Air. Jatuh tak jauh dari pohonnya. Demikian pula dengan kisah perjalanan bisnis Teddy Tjokrosaputro, Direktur Utama PT Subafood Pangan Jaya. Kakek dan neneknya adalah pengusaha batik ternama bermerek Batik Keris. Sebagai generasi ketiga, ia memilih tidak melanjutkan usaha tekstil meski tetap mewarisi darah bisnis dari kakek dan neneknya. Teddy lebih memilih menggeluti bisnis makanan ketimbang batik.
Melalui PT Subafood Pangan Jaya, ia berhasil menjadi produsen bihun jagung yang sukses. Produk bihun jagung ini merupakan yang pertama di Indonesia, bahkan di dunia. Boleh dibilang, kami pionir di bisnis ini,” katanya. Tak heran bila Subafood berhasil meraih beberapa penghargaan berkat inovasi produk pangan ini. Bukan itu saja, setiap tahun,
kapasitas produksi sekaligus penjualan bihun jagung selalu naik 100 persen. Saat ini, kapasitas produksi Subafood sebanyak 1.200 ton per bulan atau sekitar 14.400 ton per
tahun. Adapun market share bihun jagung Subafood sudah 20 persen. “Dengan harga eceran tertinggi (HET) rata-rata Rp 11.000 per kilogram, bihun jagung kami bisa menembus
pasar dan diminati,” kata Teddy. Bihun ini pun sudah didistribusikan ke 25 provinsi dengan lebih dari 30.000 gerai.
Uniknya, Teddy justru mengawali karier bisnisnya bidang properti, bukan makanan. Setelah menyelesaikan pendidikan di University of Southern California, Los Angeles, Amerika Serikat, tahun 1995, dia pulang ke Indonesia dan membantu orang tuanya mengurus bisnis keluarga di bidang properti. “Saya belajar menjalankan bisnis melalui perusahaan keluarga sekitar dua hingga tiga tahun,” kata suami Shelly Verywan ini.
Saat krisis moneter 1997–1998, perusahaan keluarga Teddy terpukul. “Waktu itu, hampir semua bisnis gulung tikar, termasuk bisnis properti,” katanya. Meski begitu, ia tidak kapok menjajal bisnis properti. Sekitar tahun 1999, lelaki kelahiran Solo, Jawa Tengah, 18 Agustus 1974 ini kembali merintis usaha di bidang properti. Kali ini, dia menjalankan usaha secara pribadi. Dengan mengibarkan bendera PT Andalan Propertindo, Teddy menggarap sebuah proyek trade center di Solo, Jawa Tengah. “Isi trade center ini rata-rata pedagang batik. Usaha ini masih berjalan hingga sekarang,” kata bapak dua anak ini.
Ternyata, Teddy tidak puas hanya memiliki bisnis di bidang properti. Tahun 2004, ia merambah bisnis makanan dengan mendirikan PT Subafood Pangan Jaya. Pilihannya jatuh pada usaha pengolahan jagung. Saya memilih jagung karena merupakan tanaman pangan
kedua setelah beras. Itu saja. Namun, saya juga berpikir, jagung ini cocoknya diolah jadi apa. Tidak mungkin, kan, kita jualan jagung bakar,” jelasnya. Lantas, Teddy mengumpulkan
tim untuk memikirkan olahan jagung yang bisa disukai masyarakat. Akhirnya, tercetus ide untuk mengolah pati jagung menjadi bihun. “Masyarakat kita sudah dekat dengan olahan pangan jenis mi ini. Nah, dengan bihun jagung ini, kami pikir bisa terserap masyarakat dengan mudah,” katanya. Selama setahun, Teddy bersama tim melakukan penelitian.
kedua setelah beras. Itu saja. Namun, saya juga berpikir, jagung ini cocoknya diolah jadi apa. Tidak mungkin, kan, kita jualan jagung bakar,” jelasnya. Lantas, Teddy mengumpulkan
tim untuk memikirkan olahan jagung yang bisa disukai masyarakat. Akhirnya, tercetus ide untuk mengolah pati jagung menjadi bihun. “Masyarakat kita sudah dekat dengan olahan pangan jenis mi ini. Nah, dengan bihun jagung ini, kami pikir bisa terserap masyarakat dengan mudah,” katanya. Selama setahun, Teddy bersama tim melakukan penelitian.
Butuh edukasi Akhirnya berdirilah pabrik olahan jagung di daerah Tangerang, Banten, pada bulan Juni 2005. Tahun 2006, Subafood mulai memproduksi bihun jagung dengan kapasitas
100 ton per bulan. “Tidak semulus yang dibayangkan. Kami cukup bekerja keras untuk
melakukan edukasi ke masyarakat. Maklum, waktu itu, kan, belum ada produk bihun jagung di pasaran. Yang ada bihun beras,” jelasnya. Seiring dengan pengenalan masyarakat terhadap produk, kapasitas dan penyerapan bihun jagung Subafood terus meningkat setiap tahun.
100 ton per bulan. “Tidak semulus yang dibayangkan. Kami cukup bekerja keras untuk
melakukan edukasi ke masyarakat. Maklum, waktu itu, kan, belum ada produk bihun jagung di pasaran. Yang ada bihun beras,” jelasnya. Seiring dengan pengenalan masyarakat terhadap produk, kapasitas dan penyerapan bihun jagung Subafood terus meningkat setiap tahun.
Teddy bilang, sejauh ini, usahanya itu banyak mengalami kendala. “Harga jagung cukup fluktuatif,” katanya. Bila harga sedang tinggi, tentu kondisi ini menyusahkan lantaran bihun jagung merupakan produk yang membidik semua kalangan. Harga jualnya tidak mungkin tinggi. Terkadang, Subafood juga mengalami kendala pasokan bahan baku yang kurang rutin. Tapi, Teddy bilang, persoalan itu masih bisa dihadapi.
Dalam perjalanannya, Teddy tidak hanya mengandalkan bihun jagung. Dia mulai melakukan inovasi produk. Antara lain dengan memunculkan produk bihun jagung instan aneka rasa, sorgum, mi kering, dan makaroni jagung. Selain itu, ia juga mulai memproduksi olahan di luar bahan baku jagung, seperti terasi dan merica bubuk. Bihun jagung yang diproduksi Subafood juga mengundang banyak pengekor. “Bila tahun 2006 hanya ada dua produsen bihun jagung, sekarang sudah ada 23 produsen,” jelas Teddy.
Teddy pun tak tinggal diam. Dia terus melakukan ekspansi.Selain memunculkan produk
baru, Subafood juga memperluas pasar. Mulai tahun 2010, Subafood mengekspor aneka produk olahan dari jagung ke Belanda, Malaysia, dan terakhir ke Brunei Darussalam.
baru, Subafood juga memperluas pasar. Mulai tahun 2010, Subafood mengekspor aneka produk olahan dari jagung ke Belanda, Malaysia, dan terakhir ke Brunei Darussalam.
sumber: bisniskeuangan.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar