Lidah buaya awalnya hanya dikenal sebagai bahari dasar kosmetik dan sampo. Dalam satu dekade terakhir, lidah buaya ! mulai dikenal sebagai produk beragam makanan olahan asal Pontianak.
Salah seorang yang berperan memopulerkan lidah buaya sebagai produk makanan khas Pontianak itu adalah Sunani (39). Dimulai dari kesenangan membuat kue, lulusan kolah menengah atas itu mencoba membuat jeli dan dodol berbahan dasar lidah buaya (aloe vera) tahun 2004.
"Saya mencobanya dari jumlah yang sangat sedikit, hanya satu kilogram lidah buaya yang saya olah menjadi jeli dan dodol," ujar Sunani. Pada awal usahanya, Sunani memutuskan untuk menitipkan jeli dan dodol lidah buaya di pusat oleh-oleh Kota Pontianak.
Sayangnya, respons konsumen belum bagus karena masih asing dengan produk olahan itu. Sunani menilai hal itu wajar mengingat lidah buaya memang bukan balian baku siap olah seperti ba-han baku lain.
"Mengolah lidah buaya menjadi makanan memang harus sabar, prosesnya agak lama. Konsumen yang membeli produk makanan olahan lidah buaya pada masa awal itu umumnya mereka yang tahu khasiatnya," ujar Sunani.
Awalnya, Sunani hanya memanfaatkan daging lidah buaya untuk membuat jeli dan dodol. Prosesnya agak rumit karena harus dicuci lima hingga enam kali supaya lendimya hilang. Selanjutnya, lidah buaya harus direbus.
Tantangan pada tahun pertama membuat makanan olahan dari lidah buaya bagi Sunani terasa berat Pasalnya, dia harus memperkenalkan produk makanan dari bahan baku yang baru.
"Namun, upaya saya dengan ikut pameran, menitipkan produk di beberapa tempat, dan memperkenalkannya dari mulut ke mulut tidak sia-sia. Dalam tahun pertama, saya sudah bisa mengolah sekitar 200 kilogram lidah buaya setiap bulan," kata Sunani.
Sunani dibantu lima pekerja pada se-tahun pertama dan bisa membukukan omzet Rp 20 juta per bulan. Supaya makin dikenal konsumen, Sunani yang dibantu suaminya, Jifung (41), menggunakan merk Isunvera.
Tiga tahun pertama, Sunani menggarap serius pangsa pasar di Kota Pontianak dengan membuat beberapa jenis makanan olahan baru berbahan dasar lidah buaya, seperti kerupuk, minuman, dan teh. Khusus teh, Sunani membuatnya dari kulit lidah buaya.
"Dengan berhasil menemukan cara pembuatan teh dari lidah buaya, usaha saya hampir tak menghasilkan limbah atau sampah. Semua terpakai, mulai daging hingga kulit. Bagian yang tidak terolah hanya bagian ujung dan duri. Tapi, kami gunakan hatian tak terpakai itu untuk memupuk tanaman lidah buayayang kami kembangkan," kata Sunani.
Setelah delapan tahun menggeluti usahanya, kini Sunani menghabiskan 2 ton bahan baku setiap hari. Dari kebunnya yang .seluas 2 hektar, Sunani hanya mendapatkan .ekitar 1 ton bahan baku setiap hari. Sisanya diperoleh dari enam petani yang bersedia bekerja sama menyediakan lahan untuk ditanami lidah buaya.
Saat ini, dia dibantu 35 pekerja yang sebagian besar perempuan. Sebagian dari para perempuan itu adalah anak-anak putus sekolah yang hanya lulus sekolah dasar.
Selain untuk pasar lokal Pontianak. Isunvera juga didistribusikan ke beberapa daerah di Indonesia, seperti Ja karta. Yogyakarta, Balikpapan, Pangkalan Bun, dan Banjarmasin. Dalam waktudekal ini. Isimven juga didistribusikan untuk memenuhi permintaan 11.1s.1r di t ton produk |xr bulan.
Kendati hamil lulus Kitalah menengah atas. Sunani tetap han.i karena tak hanya memasok produk makanan untuk pasar lokal. Pasar makanan lian produk kosmetik berbahan dasar Udah buaya di Kuchini rawak, Malaysia dan Brunei pun dia
Setiap bulan. Sunani diminta mema-mpat produk, yakni teh. jeli, cokelat, dan sabun masing-masing nba in.ik 2(HH) bungkus. Omzet dari penjualan ke Malaysia dan Brunei tersebutsudah Rp 100 juta per bulan sehingatotal omset 1G jenis produk Isunveratahun 2012 ini sudah Hp 200 juta per bulan.a berusaha tidak mengecewakanpelanggan. Jika pelanggan minta tamhah.in volume, saya langsung menyanggupi walaupun kami harus lembur atau menambah pekerja baru. Bagi saya. Bangai penting memelihara kepercayaan pelanggan,* ujar Sunani.
Sunani berbagi peran dengan Jifung. Pemeliharaan dan panen di kebun pengantaran produk untuk Pontianak dilakukan Jifung. sementara pengembangan produk dan pengelolaan sumber daya manusia oleh Sun.nn
Kendati berhasil mendapatkan omzet ratusan juta min.ih. Sunani mengakubelum pernah menambah modal dari pinjaman. Takut, katanya. Sunani dan suaminya tak meminjam modal karena takut pekerjaan sehari-hari nn ikan terbebani membayar cicilan dan bunga. "Bungo pinjaman tidak pernah kecil Di mana pun itu." ujar Sunani
Tambahan modal diperoleh dari keuntungan yang disisihkan setiap bulan. Sunani liertekad menambah produknya menjadi 20 jenis pada akhir 2012, termasuk bakso lidah buaya yang baru diproduksi belum lama ini.
Namun, Sunani saat ini sedang menghadapi kendala permodalan. Pasalnya, ada permintaan produk tambahan 15 ton per minggu ke Jakarta dan minuman lidah buaya kemasan kaleng ke Korea Selatan. "Investasi untuk dua permintaan itu di atas Rp 200 juta Kami belum menemukan solusinya dan opsi meminjam modal masih kami kesampingkan.
Salah seorang yang berperan memopulerkan lidah buaya sebagai produk makanan khas Pontianak itu adalah Sunani (39). Dimulai dari kesenangan membuat kue, lulusan kolah menengah atas itu mencoba membuat jeli dan dodol berbahan dasar lidah buaya (aloe vera) tahun 2004.
"Saya mencobanya dari jumlah yang sangat sedikit, hanya satu kilogram lidah buaya yang saya olah menjadi jeli dan dodol," ujar Sunani. Pada awal usahanya, Sunani memutuskan untuk menitipkan jeli dan dodol lidah buaya di pusat oleh-oleh Kota Pontianak.
Sayangnya, respons konsumen belum bagus karena masih asing dengan produk olahan itu. Sunani menilai hal itu wajar mengingat lidah buaya memang bukan balian baku siap olah seperti ba-han baku lain.
"Mengolah lidah buaya menjadi makanan memang harus sabar, prosesnya agak lama. Konsumen yang membeli produk makanan olahan lidah buaya pada masa awal itu umumnya mereka yang tahu khasiatnya," ujar Sunani.
Awalnya, Sunani hanya memanfaatkan daging lidah buaya untuk membuat jeli dan dodol. Prosesnya agak rumit karena harus dicuci lima hingga enam kali supaya lendimya hilang. Selanjutnya, lidah buaya harus direbus.
Tantangan pada tahun pertama membuat makanan olahan dari lidah buaya bagi Sunani terasa berat Pasalnya, dia harus memperkenalkan produk makanan dari bahan baku yang baru.
"Namun, upaya saya dengan ikut pameran, menitipkan produk di beberapa tempat, dan memperkenalkannya dari mulut ke mulut tidak sia-sia. Dalam tahun pertama, saya sudah bisa mengolah sekitar 200 kilogram lidah buaya setiap bulan," kata Sunani.
Sunani dibantu lima pekerja pada se-tahun pertama dan bisa membukukan omzet Rp 20 juta per bulan. Supaya makin dikenal konsumen, Sunani yang dibantu suaminya, Jifung (41), menggunakan merk Isunvera.
Tiga tahun pertama, Sunani menggarap serius pangsa pasar di Kota Pontianak dengan membuat beberapa jenis makanan olahan baru berbahan dasar lidah buaya, seperti kerupuk, minuman, dan teh. Khusus teh, Sunani membuatnya dari kulit lidah buaya.
"Dengan berhasil menemukan cara pembuatan teh dari lidah buaya, usaha saya hampir tak menghasilkan limbah atau sampah. Semua terpakai, mulai daging hingga kulit. Bagian yang tidak terolah hanya bagian ujung dan duri. Tapi, kami gunakan hatian tak terpakai itu untuk memupuk tanaman lidah buayayang kami kembangkan," kata Sunani.
Setelah delapan tahun menggeluti usahanya, kini Sunani menghabiskan 2 ton bahan baku setiap hari. Dari kebunnya yang .seluas 2 hektar, Sunani hanya mendapatkan .ekitar 1 ton bahan baku setiap hari. Sisanya diperoleh dari enam petani yang bersedia bekerja sama menyediakan lahan untuk ditanami lidah buaya.
Saat ini, dia dibantu 35 pekerja yang sebagian besar perempuan. Sebagian dari para perempuan itu adalah anak-anak putus sekolah yang hanya lulus sekolah dasar.
Selain untuk pasar lokal Pontianak. Isunvera juga didistribusikan ke beberapa daerah di Indonesia, seperti Ja karta. Yogyakarta, Balikpapan, Pangkalan Bun, dan Banjarmasin. Dalam waktudekal ini. Isimven juga didistribusikan untuk memenuhi permintaan 11.1s.1r di t ton produk |xr bulan.
Kendati hamil lulus Kitalah menengah atas. Sunani tetap han.i karena tak hanya memasok produk makanan untuk pasar lokal. Pasar makanan lian produk kosmetik berbahan dasar Udah buaya di Kuchini rawak, Malaysia dan Brunei pun dia
Setiap bulan. Sunani diminta mema-mpat produk, yakni teh. jeli, cokelat, dan sabun masing-masing nba in.ik 2(HH) bungkus. Omzet dari penjualan ke Malaysia dan Brunei tersebutsudah Rp 100 juta per bulan sehingatotal omset 1G jenis produk Isunveratahun 2012 ini sudah Hp 200 juta per bulan.a berusaha tidak mengecewakanpelanggan. Jika pelanggan minta tamhah.in volume, saya langsung menyanggupi walaupun kami harus lembur atau menambah pekerja baru. Bagi saya. Bangai penting memelihara kepercayaan pelanggan,* ujar Sunani.
Sunani berbagi peran dengan Jifung. Pemeliharaan dan panen di kebun pengantaran produk untuk Pontianak dilakukan Jifung. sementara pengembangan produk dan pengelolaan sumber daya manusia oleh Sun.nn
Kendati berhasil mendapatkan omzet ratusan juta min.ih. Sunani mengakubelum pernah menambah modal dari pinjaman. Takut, katanya. Sunani dan suaminya tak meminjam modal karena takut pekerjaan sehari-hari nn ikan terbebani membayar cicilan dan bunga. "Bungo pinjaman tidak pernah kecil Di mana pun itu." ujar Sunani
Tambahan modal diperoleh dari keuntungan yang disisihkan setiap bulan. Sunani liertekad menambah produknya menjadi 20 jenis pada akhir 2012, termasuk bakso lidah buaya yang baru diproduksi belum lama ini.
Namun, Sunani saat ini sedang menghadapi kendala permodalan. Pasalnya, ada permintaan produk tambahan 15 ton per minggu ke Jakarta dan minuman lidah buaya kemasan kaleng ke Korea Selatan. "Investasi untuk dua permintaan itu di atas Rp 200 juta Kami belum menemukan solusinya dan opsi meminjam modal masih kami kesampingkan.
sumber : blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar