Selasa, 26 Februari 2013

Penjual Gado Gado yang Sukses

Perjuangan ibu dan anak untuk lepas dari masalah ekonomi yang melilit mereka ternyata bisa menjadi kekuatan yang sempurna. Bagaimana tidak? Bermodal kepiawaian sang bunda dalam mengolah makanan, dan putranya dalam mengatur manajemen, bisnis kelas rumahan itu pun ‘naik kelas’ menjadi bisnis ‘gedongan’.

Banyak orang ragu mengangkat gado-gado ke level bisnis yang lebih bergengsi, karena takut rugi. Tapi, lain halnya dengan Juliana Hartono (64 tahun) malah berani membangun restoran mewah untuk jualan gado-gado. Rupanya, bisnis itu sukses hingga beranak pinak menjadi 10 restoran gado-gado dengan nilai aset miliaran rupiah.

Kisah perjuangan Juliana Hartono (Pendiri Gado-Gado Boplo) dan putra sulungnya, Calvin Hartono dalam mengembangkan usaha Gado-Gado Boplo sungguh luar biasa. Berawal dari sebuah gang sempit di Jalan Kebon Sirih, bisnis makanan itu kini berkembang pesat menjadi sebuah restoran gado-gado yang telah dikenal masyarakat luas, bahkan menjadi favorit para pejabat dan selebritis. Citra masakan gado-gado sebagai makanan tradisional berhasil diangkat sebagai makanan yang berkelas.

“Awalnya dimulai di tahun 1970, mami mulai berjualan gado-gado di halaman rumah kami di sebuah gang sempit di Kebon Sirih. Jadi kami hanya melayani tetangga sekitar rumah, dengan harga jual Rp 25,- per porsi” ujarnya. “ Mami harus bekerja keras mencari nafkah, karena Papa saya sudah meninggalkan kami. Dan karena mami sangat hobi memasak, akhirnya beliau memutuskan untuk berjualan makanan” tutur Calvin. Menu gado-gado dipilih karena cara penyajiannya yang dinilai cukup mudah ketika itu.

Kelihaian sang ibu mengolah bumbu gado-gado ternyata mendapat respon positif dari tetangga sekitar, sehingga halaman rumahnya selalu ramai dipenuhi para pembeli. Hingga pada tahun 1980, mereka memindah lokasi berjualan di garasi rumah milik seorang kerabat di jalan raya Wahid Hasyim, tepatnya di seberang Apotik Boplo.

Di sekitar daerah tersebut juga terdapat sebuah pasar tradisional, yang terkenal dengan nama Pasar Boplo. Dari situlah akhirnya nama Boplo dipakai sebagai brand restoran gado-gado mereka, saat ini nama Gado-Gado Boplo telah dipatenkan. “Saya salut dengan mami, walaupun hanya sampai tingkat 3 SD, namun telah berpikiran maju dengan memikirkan masalah merk. Hingga akhirnya disepakati memakai nama Gado-Gado Boplo” terang Calvin.

Pada tahun 2004, mereka mendapat tawaran untuk mengakuisisi sebuah restoran yang hampir mati di Jalan Barito, Jaksel. Dan dari situlah Gado-Gado Boplo bertransformasi menjadi sebuah restoran modern, dengan tempat dan fasilitas yang nyaman, namun tetap mengandalkan menu utama makanan tradisional, gado-gado.

Selaku pengelola restoran, Calvin merasa optimis dengan bisnis itu. Bagi dirinya, makanan tradisional khas Betawi ini, memiliki prospek besar bila dipasarkan di level yang lebih tinggi. “Sebenarnya makanan itu disukai semua orang. Yang membuatnya identik dengan kalangan menengah ke bawah, akibat kondisinya saja. Selama ini, orang yang ingin membeli gado-gado harus sambil berdesak-desakan, berpanas-panasan, dan sambil bercucuran keringat. Itulah sebabnya mereka (kalangan menegah ke atas. Red) malas membeli gado-gado, karena tidak terbiasa dengan suasana itu,” tutur Calvin.

Ketika diminta untuk memberikan kiat–kiat sukses bagi para calon entrepreneur, dengan mantap Calvin menjawab “ Konsistensi! Anda harus terus konsisten dengan usaha anda, kerjakan dengan penuh gairah. Dan buat teamwork yang solid. Kita di Boplo semuanya kerja tim, kita tidak bisa One Man Show. Kita seperti satu tubuh dengan banyak anggota tubuh yang saling melengkapi dengan fungsinya masing-masing “ jelasnya. “Lalu mulailah merintis dari yang kecil. Jangan mengharapkan sesuatu yang instan dan maunya langsung besar. Justru proses itu yang akan mendewasakan kita dan membuat kita kuat sehingga kita tidak mudah dijatuhkan, jadi jangan menghindari yang namanya proses.”

Sumber : wordpress.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label