Selasa, 06 Agustus 2013

Sukses Telkomsel

Telkomsel merupakan operator selular terkemuka di Indonesia yang dimiliki PT Telkom dengan kepemilikan saham sebesar 65 persen dan SingTel sebesar 35 persen.

Hingga Juni 2010, Telkomsel dipercaya melayani 88,3 juta pelanggan, menjadikan Telkomsel sukses sebagai pemimpin pasar di industri telekomunikasi selular dengan pangsa pasar sekitar 50 persen.

Sebagai operator selular yang memiliki visi “Best and Leading Mobile Lifestyle and Solutions Provider in the Region”, Telkomsel menyediakan ragam pilihan layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan melalui produk paskabayar kartuHALO maupun prabayar simPATI dan Kartu As.

Komitmen kuat Telkomsel dalam menghadirkan layanan mobile lifestyle yang semakin berkualitas sangat jelas terlihat dengan secara konsisten mengimplementasikan roadmap teknologi selular terkini, yakni 3G, HSDPA, HSPA, HSPA+, serta Long Term Evolution. Tahun ini Telkomsel mengembangkan jaringan mobile broadband dengan mencanangkan 24 kota besar sebagai broadband city.

Sebagai pemimpin di industri telekomunikasi selular, Telkomsel telah menggelar 34.000 Base Transceiver Station termasuk lebih dari 6.000 Node B yang menjangkau 95 persen wilayah populasi Indonesia. Seiring diselesaikannya program Universal Service Obligation yang diamanahkan pemerintah untuk menggelar jaringan di 25.000 desa, maka layanan Telkomsel menjangkau hampir 100 persen wilayah populasi Indonesia.

Bahkan kenyamanan berkomunikasi pelanggan Telkomsel yang sedang berada di luar negeri tetap terjamin berkat dukungan 403 mitra operator international roaming dan 300 mitra operator data roaming di lebih dari 200 negara di seluruh belahan dunia.

sumber :  telkom.co.id

Sukses Bakso Ayu

SUKSES Erwin Nalfa (34) patut diajungi jempol, pria asal kampung Rime Raya Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah dalam menguji peruntungan dengan berjualan bakso di Kampung Kayukul Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah di akhir tahun 2001 lalu maju pesat berkat keuletannya.

Kesuksesan yang diraih Erwin dengan merk dagang “Bakso Ayu” saat ini bukanlah mulus-mulus saja tanpa masalah, akan tetapi suami dari Nurmala (33) harus melewati perjuangan yang begitu sulit bagi diri dan keluarganya.

Berawal dari pekerjaannya sebagai pekerja di Balai Benih Ikan (BBI) yang terletak di Kampung Simpang Kelaping Kecamatan Pegasing Aceh Tengah, merasa penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sangat dengan terpaksa dirinya harus mencari alternatif pekerjaan sampingan.

Dengan kurangnya keahlian yang dimiliki, Erwin terpaksa memulai dengan menjual bakso keliling. Namun keyakinananya untuk sukses, membuat Erwin tidak berhenti mengasah kemampuan dan keterampilan dalam mengolah pangan yang berbentuk bulat ini. Dibantu sang istri Nurmala yang juga sebagai tempat curhat Erwin dalam mengarungi getirnya hidup sehari-hari.

Dengan kesabaran dan penuh rasa cinta kasih membuat Erwin semakin bekerja dengan giat. Dengan suatu tekad kelak dirinya akan membahagiakan istri dan anak-anaknya dengan penghasilan yang cukup. Betapa tidak, awalnya Erwin harus melewati rintangan hidup yang amat berat, tubuh kecil yang kelihatan kurus itu harus mendorong gerobak yang berat, gerobak itulah yang dijadikannya sebagai mata pencahariannya sebagai tukang bakso keliling, demi mencapai mimpinya.

Erwin mengisahkan, bahwa dirinya harus mendorong gerobak itu selama tiga tahun dari 2003 hingga 2006, banyak hal yang didapati dalam mengarungi kehidupan itu. Dirinya harus mengetuk-ngetuk mangkuk baksonya sambil berteriak bakso….bakso…bakso, hingga ada orang yang memanggil untuk membeli baksonya.

“Kegembiraan yang sangat tak disaat saya dipanggil oleh pembeli,” kisah Erwin sembil menambahkan, dia selalu melayani para pembeli dengan senyuman walaupun dirinya telah terasa lelah, karena jarak tempuh jualannya tidaknya dekat.

Rute perjalanan jualan kelilingnya dimulai dari tempat tinggalnya di BBI Simpang Kelaping lalu menuju ke Kampung Pedekok, kemudian kembali lagi ke Simpang Kelaping untuk beristrirahat sejenak dan malanjukannya kembali sampai ke Kayu Mi Kampung Kayukul, sampai akhirnya dia pulang ke rumahnya.

Waktu bekerja Erwin pun bertambah, di pagi hari dirinya bekerja sebagai pekerja di BBI dan siangnya harus berkeliling menjual bakso, kelelahan dan kejenuhanpun menghampirinya. Namun apalah daya, demi menghidupi ke-3 anaknya, Ayu Listianalfa, Najwa Alfina Nalfa dan Chairil Nalfa.

“Ke-tiga anak sayalah yang menjadi sumber tenaga bagi sehingga tidak merasa kelelahan setiap harinya,” kata Erwin dengan mata berbinar mengingatnya.

Erwin mengatakan pada saat menjual bakso keliling dirinya tidak pernah mematok harga yang tentu kepada anak-anak, berawal dari rasa kasihannya dirinya memutuskan untuk dibayar berapa saja, asal anak-anak pelanggannya dapat merasa senang dan selalu menunggu kehadirannya.

Tiga tahun lamanya Erwin harus mendorong gerobak perlahan tapi pasti, dengan keyakinan yang dimilikinya, pada akhir 2007 Erwin menyewa sebuah rumah untuk dijadikan tempat berjualan baksonya, dan ternyata seiring berjalannya waktu di akhir tahun 2009 Erwin mampu membeli sepetak tanah dan mendirikan sebuah bangunan Ruko yang kini sangat ramai dikunjungi.

Kini Erwin bukanlah yang Erwin yang dulu, mendorong dan mengetuk mangkuk bakso hingga malam, kegembiraan kini menghiasi hatinya, betapa tidak dirinya telah bisa membahagikan istri dan ke-tiga anaknya dengan layak, dengan penghasilan tiga juta rupiah perharinya Erwin pun tidak merasa sombong, Erwin yang merupakan pendatang di Kayukul sangat akrab bergaul dengan para masyarakat sekitar, tak lupa pula ia selalu memberikan zakat dari hasil penjualannya apabila telah mencapai hisapnya.

Hidupnya kini telah berubah, berawal dari kerja keras dengan keyakinan dan ketekunan seorang Erwin, kini dia menjadi pengusaha bakso yang sukses dengan segudang cerita yang menarik.

Amatan Lintas Gayo, kantin bakso miliki Erwin yang dikenal dengan sebutan bakso Ayu, setiap harinya ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan, hingga jalan lurus membentang itu terlihat macet dikala sore menjelang. Jika anda belum pernah mencobanya, bukan bermaksud promise, tapi tak salah jika mau mencoba cita rasa bakso yang disajikan cukup lezat dengan harga yang terbilang murah, hanya Rp.6000/ mangkuknya.

Sumber : lintasgayo.com

Rabu, 31 Juli 2013

Sukses Sumarsono Bubur Kertas

Krisis ekonomi tahun 1997 meninggalkan pengalaman pahit bagi Sumarsono. Pemilik usaha pembuatan panel atau ornamen dinding berbahan kertas penghias ruangan berbendera Laxvin Art ini menjadi salah satu korban krisis ekonomi itu. Ia menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di salah satu perusahaan periklanan di Jakarta.

Lebih dua tahun Sumarsono bertahan hidup berbekal uang pesangon. Pada tahun 2000, ia memutuskan bekerja serabutan dengan cara menjual benda-benda seni seperti patung dan lukisan.

Keahlian dalam bidang seni ia peroleh dari keluarganya yang kebanyakan seniman. “Kebetulan saya besar dari keluarga seniman pematung,” ujar pria kelahiran Banyumas tahun 1970 silam itu.

Sembari memperjualbelikan benda seni itulah, Sumarsono bereksperimen mengolah koran bekas menjadi bubur kertas. “Saya yakin, koran bekas itu bisa diolah menjadi kerajinan yang bernilai tinggi,” kata Sumarsono.

Namun, upaya Sumarsono pertama kali membuat bubur kertas dari koran bekas itu berujung sia-sia lantaran ia belum paham dengan takaran air dengan takaran kertas agar menghasilkan bubur kertas yang seimbang.

Namun, pria yang belajar mengolah kertas secara otodidak itu pantang menyerah. Kegagalan demi kegagalan ia lewati, hingga akhirnya tahun 2007 Sumarsono sukses membuat bubur kertas sekaligus mengolahnya menjadi panel atau ornamen hiasan dinding.

Modal yang terbatas, ia pun nekad menjual sepeda motor serta meminjam modal dari kerabat untuk memulai usaha panel. “Saat itu, modal saya kumpulkan Rp 60 juta,” kata Sumarsono yang membuka usaha di Cilebut, Bogor, Jawa Barat itu.

Modal kerja itu, ia gunakan untuk membeli peralatan daur ulang, bahan baku kertas koran, cat serta biaya operasional. “Modal itu untuk membiayai produksi pertama,” ungkap Sumarsono.

Dari situ, Sumarsono bisa memproduksi 11 unit panel yang siap jual. Panel itu dipasarkan di salah satu pasar di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Hanya dalam waktu dua jam saja, sembilan lembar panel ukuran 85 centimeter (cm) x 120 cm itu laris terjual. “Omzet pertama saya waktu itu capai Rp 4 juta,” urainya.

Mengetahui karyanya bisa dijual, Sumarsono memutuskan menambah produksi. Produk panel miliknya kemudian dikenal di Cibinong, Bogor dan juga Depok. “Peminatnya juga dari perkantoran, hotel dan restoran” tutur Sumarsono.

Karena sering mendapat pembeli dari perkantoran, membawa Sumarsono berkenalan dengan pejabat pemerintah. Ia bahkan sempat dipercaya menjadi pembicara dalam acara kewirausahaan di salah satu kementerian.

Hingga kini, pria yang hobi jalan-jalan itu bisa menjual panel berukuran 45 cm x 45 cm sebanyak 400 buah per bulan. Untuk setiap panel, Sumarsono menjualnya seharga Rp 150.000 per panel.

Dalam sebulan, Sumarsono bisa meraup omzet hingga Rp 60 juta. Dari total omzet tersebut, ia mengaku mendapatkan margin usaha hingga 50%. “Labanya bisa mencapai Rp 30 juta,” ujarnya terus terang.

Dalam bekerja, Sumarsono dibantu oleh tiga orang karyawan. Tugas mereka adalah untuk membuat bubur kertas, proses cetak, penjemuran hingga pengecatan panel. “Proses penjemuran dan pengeringan cat menggunakan tenaga matahari,” jelas Sumarsono

Sukses dalam meniti karier bukan berarti Sumarsono lupa diri. Belakangan ia sibuk memberikan motivasi kepada orang lain untuk melakukan wirausaha seperti dirinya.

Ia mengaku tidak pelit dalam membagi dan memberikan ilmu cara mengolah kertas menjadi panel dengan benar. “Saya akan mengajarkan mereka yang mau belajar,” ujarnya

Sumber : jpmi.or.id

Bisnis Lada

Karena volume panen mulai berkurang, harga lada mengalami kenaikan. Hari ini, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) melaporkan harga lada hitam di Kabupaten Kepahiang, provinsi Bengkulu naik 13,3% menjadi Rp 34.000 per kilogram (kg) dari harga sebelumnya Rp 30.000 per kg.

Kenaikan harga lada di dalam negeri terjadi karena stok pasokan dari petani tidak banyak perubahan. Pasokan lada hitam dari petani sebelumnya terganggu akibat tingginya curah hujan di daerah produsen. Sementara, kebutuhan lada hitam meningkat dari pedagang besar yang ada di Lampung dan Sumatra Barat.

Sementara harga lada putih juga ikut naik menjadi Rp 73.000 dari sebelumnya bertahan Rp 70.000 per kg. Saat ini, areal perkebunan lada di Provinsi Bengkulu mencapai 10.254 hektare (ha) dengan produksi 4.110,54 ton per tahun.

Kondisi kenaikan harga lada juga tercermin dari penutupan perdagangan di NCDEX (National Commodity and Derivatives Exchange) India akhir pekan lalu (25/3).

Harga lada untuk penyerahan April 2011 ditutup pada level harga INR 23.850 per kg dari harga sebelumnya INR 23.500 per kg. Kenaikan harga lada terpengaruh pasokan lada dunia yang berkurang.

Penurunan produksi karena panen lada India telah usai, sementara Vietnam baru akan memulai tanam. Analisa dari BAPPEBTI menyebutkan output panen lada dari kedua negara itu akan lebih rendah musim panen nanti.

Sementara itu produsen lainnya seperti Brasil malah mencatat kenaikan ekspor. Bulan Februari 2011 lalu, Brasil mengekspor 2.791 ton lada senilai US$ 13 juta, meningkat dari periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 2.062 ton senilai US$ 6,4 juta.

Ekspor lada Brazil bulan Februari itu juga lebih tinggi sebesar 24% dibandingkan dengan ekspor pada Januari 2011. Selama Januari – Februari 2011, total ekspor lada dari Brasil mencapai 5.039 ton senilai US$ 23,4 juta. Bila dibandingkan dengan ekspor pada periode yang sama tahun lalu, terjadi peningkatan sebesar 10%.

Sumber : jpmo.or.id

Sukses Ibu Tjoan Nie

Bercita-cita menjadi seorang pedagang sukses dan memiliki kehidupan ekonomi yang mapan tentunya menjadi keinginan setiap orang. Tidak mustahil, itu semua tentu saja bisa menjadi kenyataan asalkan dibarengi dengan usaha dan doa. Sebagai contoh kita lihat para pedagang lokal yang sukses merintis usahanya dari 0 (nol). Usaha yang mereka miliki sekarang ini bukanlah warisan dari orang tuanya, tetapi murni hasil dari kerja keras dirinya sendiri. Mungkin sepenggal kisah pedagang kelapa parut asal Kp. Kedaung Rt.03 Rw.02 Kel. Kedaung Barat Kec. Sepatan timur tangerang yang satu ini bisa menginspirasi anda untuk menjadi seorang pedagang yang sukses. Yuk, langsung saja kita simak penggalan kisahnya.

Pedagang wanita yang satu ini adalah seorang putri dari keluarga yang memprihatikan. Dia adalah TJOAN NIE. Orangtuanya bukanlah dari kaum berada. Alasan itulah yang memacu dirinya untuk berjualan kelapa yang tepatnya dia mulai dari tahun 2005. Dengan bermodalkan Rp. 500.000,- dia membeli kelapa langsung dari petani kelapa yang pada saat itu harganya Rp. 1000,- perbuah. Usaha dagang kelapa bu Tjoan Nie ini juga di imbangi oleh pak Yadi suaminya yang berdagang sayur mayur. Usaha dagang suami istri ini berjalan lancar hingga tahun 2008.

Pada tahun 2008 ini pulalah awal bergabungnya bu Tjoan Nie bersama 9 orang ibu-ibu lainnya yang mempunyai usaha dagang menjadi nasabah pinjaman serba usaha Dian Mandiri. Bahkan ibu Tjoan Nie terpilih sebagai bendahara di kelompoknya yang bernama SONY. Dengan seizin suami bu Tjoan Nie memutuskan untuk pinjam sebesar Rp.1000.000,- untuk tambahan modal usaha yang dijalani bu Tjoan Nie dan suaminya yang bernama pak Yadi. Melihat dagang kelapa dan dagang sayur mayur bu Tjoan Nie dan suaminya semakin berkembang ditambah lagi pinjaman yang didapat bu Tjoan Nie meningkat sampai Rp.1.500.000,- tahun 2009 maka suami istri ini memutuskan untuk mengembangkan usaha dengan membuka bengkel motor kecil-kecilan yang di kelola oleh suami bu Tjoan Nie dengan didasari oleh kemampuan (skill) suami ibu Tjoan Nie dalam hal bongkar pasang mesin motor.

Walaupun bertambah sibuknya bu Tjoan Nie berdagang namun dia tidak pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai bendahara di kelompok SONY. Bu Tjoan Nie termasuk orang yang aktif, tegas dan konsisten dalam hal mengelola pembayaran angsuran kelompok. Uang angsuran kelompok tetap di bayarkan sesuai dengan hari yang telah menjadi kesepakatan di Perjanjian Hutang. Bahkan apabila ada anggota yang tidak bisa membayar angsuran maka dia mengambil sikap untuk mengarahkan anggotanya untuk menanggung renteng anggota yang tidak bisa membayar angsuran tersebut dengan terlebih dahulu menegur dengan baik anggota yang tidak bisa membayar tersebut untuk menetapkan hari pembayaran tunggakannya.

Sampai saat ini total pinjaman ibu Tjoan Nie sudah mencapai Rp.10.000.000,- dengan kalkulasi pinjaman Diman Plus Rp.3.000.000,-, Gold Client Rp.5.000.000,- serta Education Rp.2.000.000,-. Pinjaman ibu Tjoan Nie ini juga bukan hanya sekedar meminjam tetapi dapat di pertanggung jawabkan dalam hal pemakaiannya yang benar-benar digunakan untuk usaha kelapanya maupun usaha bengkel motor yang dikelola pak Yadi serta dapat di pertanggung jawabkan melalui kualitas pembayaran angsuran ibu Tjoan Nie yang selalu tepat hari dan tanggal perjanjian.

Keinginan untuk sukses yang ada di benak ibu Tjoan Nie bukan hanya semata-mata keinginan sukses dari segi usaha yang dimiliki ibu Tjoan Nie dan pak Yadi tetapi keinginan untuk sukses memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Ibu dengan 5(lima) orang anak ini berharap dan berusaha agar ke-5(lima) anaknya dapat bersekolah sampai tingkat sarjana.

Kalau ditanyakan mengenai kehidupan bersosial keluarga bu Tjoan Nie dengan masyarakat sekitar, tentu saja tidak perlu disangsikan lagi. Salah satu contohnya ketika terjadi suatu keadaan dimana tetangga di sekitar lingkungan Ibu Tjoan Nie yang sedang kemalangan(berduka cita) maka Bu Tjoan Nie dan suami mengambil sikap untuk turut membantu karena ibu Tjoan Nie sadar bahwa setiap orang tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain.

Satu hal yang tidak bisa Ibu Tjoan Nie pungkiri dan lupakan bahwa peningkatan usaha kelapa parut Ibu Tjoan Nie dan bengkel Motor suaminya selain berkat dari yang Maha Pencipta juga tidak terlepas dari bantuan pinjaman Koperasi Dian Mandiri. Secara Khusus Ibu Tjoan Nie dan pak Yadi mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Koperasi Dian Mandiri atas Kepercayaan Koperasi Dian Mandiri untuk memberikan tambahan modal untuk usaha mereka. Ibu Tjoan Nie dan pak Yadi juga tak lupa mendoakan agar Koperasi Dian Mandiri semakin maju dan bertambah besar sehingga mampu menjangkau masyarakat di wilayah lain yang juga membutuhkan tambahan modal usahanya. Kritik dan saran juga tak lupa disampaikan ibu Tjoan Nie terutama di dalam hal tempo pelunasan angsuran yang kalo boleh diperpanjang beberapa bulan.

Demikianlah penggalan kisah sukses yang disampaikan oleh ibu Tjoan Nie dengan harapan bahwa kisah sukses ini bisa menginspirasikan orang-orang lain yang berkeinginan untuk keluar dari belenggu kemiskinan untuk kehidupan yang mapan.

Sumber : dianmandirifoundation.org

Sukses Makanan Tradisional

Salah satu makanan tradisional yang cukup popular di Indonesia adalah pisang goreng. Menu yang akrab bersanding dengan minuman hangat seperti kopi atau teh ini, cukup mudah ditemui di mana saja. Selain karena cara pembuatannya yang tidak begitu sulit, pisang goreng adalah salah satu jenis jajanan yang dijual hampir diseluruh pelosok nusantara. Namun tak bisa dipungkiri juga, pisang goreng bukanlah termasuk jenis makanan yang mewah dan memiliki nilai jual yang tinggi. Hal itulah yang coba diubah oleh Ery Ashonk dengan pisang goreng Ta B’nana, kreasinya. Dengan inovasi produk dan kemasan, Ery mencoba menaikan kelas pisang goreng menjadi jajanan yang cukup modern yang kaya akan rasa.

Dengan kreativitasnya Ery mendesain pisang gorengnya dengan aneka bentuk, seperti dipotong melintang, memanjang, dan sebagainya. Dari sinilah lahir pisang goreng berbentuk chip, stick, dan sebagainya. Ery juga menawarkan produknya dalam bentuk kemasan seperti kemasan kentang goreng di jaringan restoran fast food internasional. Kini, dengan brand Ta B’nana, Ery telah melebarkan pasar bisnisnya dengan memiliki 30 gerai penjualan.

Khususnya untuk pelanggan di Jakarta, pisang goreng Ta B’nana bisa dijumpai di beberapa gerai yang selalu dipadati pengunjung. Seperti gerainya di Kelapa Gading, Jakarta Utara yang per harinya bisa menjual sekitar 200an pisang goreng. Selain itu, gerai pisang goreng Ta B’nana juga bisa dijumpai di Bintaro, Jakarta Selatan dan bandara Soekarno Hatta.

Ery pertama kali berjualan pisang goreng Ta B’nana tahun 2005.  Ide berjualan pisang goreng ini sebenarnya berangkat dari pertemuan dengan kenalannya yang memiliki kebun pisang di Pontianak. Pria berusia 52 tahun ini melihat banyak sekali pisang yang terbuang atau untuk makanan ternak.Lalu ia dan istrinya, Mia, berfikir untuk mengolah pisang-pisang itu agar memiliki nilai tambah lebih. Kebetulan keluarga Ery suka makan di restoran ayam goreng. Dari sini lalu timbul pemikiran untuk mengolah pisang menjadi seperti ayam goreng, renyah, dan garing.

Dari riset kecil-kecilan maka lahirlah pisang goreng Ta B’nana. Kelebihan pisang goreng Ery karena kadar minyak gorengnya rendah sehingga tidak menodai pembungkusnya atau lengket di tangan. Selain itu juga tahan lama kerenyahannya, bisa sampai bertahan hingga 3 jam.

Ada pun pisang yang digunakan untuk membuat pisang goreng Ta B’nana adalah pisang gepok. Setelah disayat tipis-tipis menjadi 4-7 potong, pisang dibentuk menyerupai kipas. Kemudian diberi tepung lalu digoreng. Hanya saja untuk pisang goreng Ta B’nana hasil ‘modifikasi’ baru ini, dua potong pisang ditumpuk menjadi satu, sebelum akhirnya digoreng. Umumnya orang membuat pisang goreng dibuat setipis mungkin. Ery kebalikannya, pisang goreng harus besar dan ada wujud pisangnya.

Hal lainnya yang membedakan pisang goreng Ta B’nana adalah proses menggorengnya. Pisang goreng Ta B’nana digoreng dua kali. Bahkan agar lebih garing, ada yang digoreng 3 kali. Setelah diberi tepung dan dilumuri dengan tepung kering, pisang digoreng setengah matang. Setelah itu baru digoreng kembali untuk membuat garing pisang bagian dalamnya. Sebelumnya minyak dikasih daun pandan agar pisang goreng jadi wangi.

Dalam mengenalkan prodaknya, Ery tidak lantas mengalami kemudahan. Ia pun harus berjualan dari pintu ke pintu, untuk memperkenalkan pisang goreng kreasinya. Per harinya ia hanya mampu menjual 20 potong pisang goreng. Pembeli umumnya tidak terlalu familiar dengan bentuk pisang goreng kreasi Ery yang beda dengan pisang goreng pada umumnya.

Perlahan tapi pasti, prodaknya mulai dikenal dan disukai oleh masyarakat. Ery pun memberanikan diri untuk menyewa kios di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Respon masyarakatpun sangat baik. Pisang goreng kreasi Ery ternyata digandrungi oleh masyarakat, khususnya kalangan anak muda. Ery pun melihat potensi bisnis ini, dan mengarahkan pasarnya kekalangan anak muda dengan menciptakan inovasi produk dan kemasan yang trendi dan gaul.

Untuk melebarkan sayap bisnis, Ery pun menawarkan bisnis pisang gorengnya kepada calon mitra yang tertarik untuk bekerjasama. Investasi yang ditawarkan pun cukup terjangkau. Untuk tipe booth ditawarkan dengan investasi Rp 6.500.000 (indoor) dan Rp 7.500.000 untuk tipe outdoor. Harga tersebut sudah termasuk joining fee selama 2  tahun beserta peralatan penggorengan.

Meskipun kini sudah banyak kompetitor lain yang juga menawarkan produk serupa, Ery merasa tidak takut akan tersaingi. Ia percaya, produk pisang goreng Ta B’nana miliknya kini telah memiliki pelanggan yang loyal dan percaya akan kualitas produk miliknya. Dengan produk pisang goreng Ta B’nana, Ery yakin makin banyak lagi produk tradisional yang bisa bersaing secara moderen, dan bisa membuka celah usaha bagi calon wirausahawan yang tertarik untuk terjun di bidang kuliner. 

Sumber : wordpress.com

Arella Big Size

Memulai sebuah bisnis akan lebih mudah dilakukan jika Anda jeli melihat peluang yang ada. Selanjutnya, Anda harus berani mengembangkan peluang tersebut. Termasuk, jika Anda harus banting setir dari pekerjaan atau bisnis yang sedang dijalani saat ini. Inilah yang dilakukan pebisnis pakaian extra large berikut ini. Langkanya pakaian berukuran ekstra besar di Indonesia, menjadi peluang usaha. Moto mereka:  semua wanita layak tampil modis. 

Saya Liena Sasmitapura memulai usaha ini sejak tahun 2002. Bisa dibilang, bisnis ini adalah hasil dari analisis pribadi, yaitu banyaknya orang yang tubuhnya berukuran XL ke atas, namun toko penyedia pakaian untuk mereka sangat minim. Selain itu, saya perhatikan, seseorang bisa dengan mudah bertambah gemuk setelah menikah, atau karena faktor usia dan pola makan yang salah. Karena dasar inilah, saya beralih dari bisnis pakaian bayi ke bisnis baju berukuran besar. Awalnya memang sempat ragu, namun, melihat pangsa pasar yang menjanjikan, kepercayaan diri saya meningkat. 

Saya memiliki 3 toko yang tersebar di Bandung dan Jakarta. Dalam waktu dekat, saya akan membuka cabang di Solo. Misi saya, memiliki minimal satu toko di kota-kota besar di Indonesia. Saya memilih membangun banyak toko karena, menurut saya, pelanggan akan lebih puas bila datang sendiri ke toko. Mereka bisa langsung melihat bahannya, jahitannya, dan langsung mencobanya. Apalagi untuk yang memiliki tubuh besar, perlu ketelitian lebih saat membeli pakaian. Namun, jika ada pelanggan dari luar kota yang akhirnya berteman lewat BBM dan memesan melalui media tersebut, tetap saya layani.

Yang paling sulit adalah mempertahankan pelanggan. Membuat mereka datang pertama kali ke toko adalah hal yang mudah. Yang sulit adalah memengaruhi mereka agar datang lagi. Untuk itu, saya mencoba membaca selera fashion mereka. Saya menyediakan pakaian dengan berbagai model dan warna agar selera orang yang bermacam-macam itu bisa terpenuhi. Prinsip saya, jangan sampai orang yang masuk ke toko tidak menemukan yang ia cari. Untuk itulah, saya juga menyediakan pakaian dari ukuran L hingga 10L.

Saya malah senang dengan banyaknya pesaing atau pengikut bisnis serupa. Dengan begitu, pelanggan bisa mencoba ke tempat lain dan bisa membandingkan kualitas produk saya dengan yang lain. Strategi saya adalah tetap menjaga kualitas barang agar tak mengecewakan pelanggan. Selain itu, saya berani tampil beda. Saat banyak yang mengatakan bahwa tubuh gemuk hanya pantas mengenakan warna hitam, saya malah berani bermain di warna cerah. Ternyata banyak yang suka. Yang penting modelnya tak membuat tubuh mereka terlihat  makin gemuk. 

Modal dan omzet sekitar Rp50 juta - Rp100 juta untuk membeli kain. Untuk toko, saya memanfaatkan rumah pribadi yang sudah dijadikan sebagai toko bisnis pertama. Omzet yang saya dapatkan adalah Rp250 juta - Rp350 juta per bulan. 

Tip Sukses
1. Selalu perhatikan kualitas barang. Patok harga yang terjangkau tanpa mengurangi kualitas barang.
2. Pelayanan adalah ujung tombak bisnis. Lakukan briefing bersama SPG sebulan sekali, bangun hubungan kekeluargaan dan perhatikan kesejahteraannya. Selain gaji tetap, saya rutin memberi bonus dan komisi  tiap bulannya. Kalau ada SPG yang berulang tahun, kami selalu merayakan kecil-kecilan di toko. Kalau mereka senang, mereka juga akan melayani pelanggan dengan senyum. 

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Selasa, 30 Juli 2013

Sukses Robert Nay

Pecandu mobile game dan pengguna iPhone pastinya tak asing dengan Angry Fish. Saking populernya, game ini sempat menduduki posisi nomor 1 aplikasi yang paling banyak diunduh di iTunes App Store. Namun, sejak awal 2011 lalu, tanpa ampun Angry Fish didepak oleh Bubble Ball, sebuah game baru ciptaan Robert Nay, seorang ABG berusia 14 tahun. Ini semacam puzzle game di mana pemain diuji kemampuan berpikirnya untuk membuat gelembung balon sampai di tujuan.

Game gratis ini, tercatat sudah diunduh dua juta lebih orang, hanya dua minggu semenjak diluncurkan. Dengan hitungan-hitungan kasar bahwa untuk setiap game yang diunduh, Apple membayar US$0,99–setara Rp9.000– Nay sudah mengantongi pendapatan sebesar US$2 juta atau Rp18 miliar, sekali lagi, hanya dalam dua pekan.

Seperti diberitakan laman ABC, Nay memulai mengenal dunia programming ketika dia pertama kali membuat halaman web saat dia duduk di bangku kelas tiga SD. Melihat bakat luar biasanya, teman-temannya lalu meminta dia membuat game sendiri.

Perjalanan Bubble Ball dimulai dari riset Nay di sebuah perpustakaan lokal. Di situ, dia menemukan program bernama Ansca Monile’s Corona SDK (Software Development’s Kit), yang membantu dia untuk menyederhanakan proses pemrograman game yang dirancangnya itu.

Selama sebulan lebih, Nay yang sekarang menjadi CEO Nay Games, menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk menyelesaikan programnya—total terdiri dari 4.000 baris lebih kode program. Total biaya yang dihabiskannya sekitar US$1.200—berasal dari uang pemberian orangtua Nay, untuk membeli komputer Macintosh dan sejumlah software.

Sukses dengan Bubble Ball, Nay kabarnya sedang mempersiapkan game baru yang lain. Apa game itu, dia masih rapat merahasiakannya.

Sumber : cyberblue.web.id

Pemilik Paotere

TAWAKKAL Sirat (47), pemilik Rumah Makan (RM) Paotere, lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Sirat Daeng Pasolong, hanya penjual tas di Pasar Butung, Makassar. 

Ketika menginjak usia lima tahun, 1971, Tawakkal sudah ditinggal ayahnya untuk selama-lamanya. Peninggalan dari sang ayah yang hanya pedagang kecil itu tak bisa menjadi tumpuan Tawakkal.

Sejak kepergian sang ayah, ibu Tawakkal, Ugi Daeng Jenne, menambah kesibukannya dari sekadar ibu rumah tangga menjadi juragan becak. Usaha becak dijalankan guna mencari biaya hidup keluarga setelah suaminya meninggal. Ibunda Tawakkal kala itu, memiliki 40 becak dan disewakan kepada prang lain.

Sepuluh tahun setelah Sirat meninggal, Ugi menyusul. Tawakkal menjadi yatim-piatu. Tak ada lagi tulang punggung keluarga. Dirinya pun harus banting tulang membiayai hidupnya dan adiknya Hasnah Sirat. Tiga saudara lainnya meninggal saat masih anak-anak.

Pamannya, Haji Daeng Gassing (85), rupanya iba terdahap Tawakkal. Rumah Tawakkal dengan rumah pamannya, tak jauh, di wilayah Ujungtanah, kawasan pesisir.

Daeng Gassing pun mengajak pria kelahiran Ujungpandang, 17 Maret 1965, itu tinggal di rumahnya seraya meminta bantuan mengelola usaha. Usaha dijalankan, yakni warung makan kaki lima di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere, Makassar.

Mulai saat itu, sekitar tahun 1980, Tawakkal pun mulai belajar mengelola warung makan, meracik bumbu, memasak, dan menghidangkan makanan kepada pelanggan.

“Waktu itu, saya masih SMP, sekolah sambil kerja di warung. Sekarang, tidak ada lagi anak-anak  mau begitu, gengsi-mi,” kenangnya seraya tertawa dalam perbincangan santai dengan Tribun di rumah makan barunya, RM Paotere, Jl Perintis Kemerdekaan, Tamalanrea, Makassar, Senin (17/9).

Dari situlah, alumnus SMP Negeri 7 Makassar ini belajar mengelola warung makan. Bekerja di warung sepulang sekolah tak sulit dijalaninya. Sekolahnya di Jl Cakalang, tak jauh dari tempat tinggalnya sekaligus warung, Jl Sabutung.

Setamat SMP, Tawakkal melanjutkan pendidikannya pada sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi. Selain mengandalkan hasil keringat, ia juga mengandalkan hasil panen lima petak sawah di kampungnya, Labakkang, Pangkep, membiayai pendidikannya.

Hingga kuliah pada Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen LPI, Makassar, memilih program studi perbankan dan keuangan, Tawakkal tetap tak gengsi berjualan hidangan laut sambil kuliah hingga tamat. Sebelum atau sepulang kuliah, pelanggan dilayani.

Warung pamannya tak menyediakan lauk. Hanya menyediakan nasi, lalapan, dan sayur. Pelanggan menyediakan ikan, cumi, atau udang segar. Lalu dibakar dan disantap di warung tersebut.

“Dulu, begitu modelnya (layanannya), karena pembeli adalah orang yang membeli ikan di lelong (TPI Paotere). Mereka (tubuhnya) bau ikan, kakinya berlumpur, tidak pakai sandal. Isitilahnya paku lonting,” kata Tawakkal mengenakan kaos polo hitam ketat di meja makan, usai peresmian rumah makannya, kemarin.

Sekitar 12 tahun ikut mengelola warung pamannya, Tawakkal mendapatkan banyak pengalaman dan pengetahuan berbisnis kuliner laut (seafood). Ia pun mencoba mengambil alih usaha pamannya dan memindahkan di tempat tak jauh dari tempat semula.

Anak ketiga dari lima bersaudara ini meminta pamannya kembali ke kampung di Labakkang, untuk beristirahat. Hingga akhir hayat, dirinya selalu siap membiayai hidup pamannya. Tawakkal tak tega pamannya masih bekerja di warung pada usianya yang sudah lanjut.

Dari kaki lima di kolong rumah menjadi rumah makan di bangunan rumah toko atau ruko. Bagunan ruko itu disewa sebab belum memiliki modal cukup. Tempatnya pun bersih dan tak lagi dipenuhi lalat serta bau menyengat.

Rumah makan diberi nama Paotere, sesuai alamanya. Sebelumnya tanpa nama, mulai beroperasi pada tahun 1992. Segmentasi pelanggan pun berubah. Dari paku lonting menjadi orang bermobil.

Di antara deretan pelanggan, ada keluarga Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud. Dari situlah Tawakkal berkenalan dengan kedua pengusaha sekaligus pejabat itu. Kalla kala itu masih memimpin NV Hadji Kalla (sekarang Kalla Group), sedangkan Aksa masih memimpin PT Bosowa Berlian Motor, diler mobil merek Mistubishi.

Kalla dan Aksa tak hanya sekadar makan, namun juga mengajari Tawakkal mengelola usaha sehingga dapat berkembang pesat. Sebelum atau sesudah makan, Kalla dan Aksa selalu memanggilnya berbagi kiat sukses.
“Pak Aksa memaksa saya agar harus membeli ruko itu. Tak boleh disewa. Setiap ketemu, saya dipaksa beli ruko itu. Alhamdulillah, akhirnya saya beli seharga Rp 675 juta pada tahun 1997,” ujarnya menceritakan sosok Aksa dan Kalla yang tak bisa dihapus dalam diari suksesnya.

Melihat RM Paotere kian populer dan ramai pengunjung, pada tahun 2011, manajemen Grand Clarion Hotel and Convention Center mengajak Tawakkal membuka rumah makan dengan nama serupa di Jl Andi Pangerang Petta Rani.

Sumber : makassar.tribunnews.com

Bisnis Unik Sate Pisang

Berhasil mengguncang rasa penasaran di dunia maya, Mizterpi kini membuat siapa pun segera ingin menikmatinya. Dari Kudus, Jawa Tengah, kehadiran Mizterpi bahkan dinantikan semua orang di seantero nusantara melalui jejaring outletnya. Lantas apa itu Mizterpi?

Anda jangan salah sangka dulu. Namanya memang bikin siapa pun penasaran. Sebab, terdengar seperti menyebut Mr P inisial sebuah kata yang masih dianggap tabu untuk diucapkan terang-terangan. Mizterpi ternyata singkatan dari mizter pisang, sebuah brand usaha camilan baru berbahan dasar buah pisang dari kota Kudus, Jawa Tengah.

Adalah Iltidas bersama rekannya Syehpudji bukan Syehpudji dari Semarang yang populer dengan berita poligami itu tentunya, adalah dua sosok pengusaha muda dibalik tercetusnya usaha yang namanya sempat membuat geger dunia maya itu. Belakangan, bukan hanya namanya memikat perhatian, tetapi juga hasil inovasi mereka yang bisa dibilang yang pertama di Indonesia, yaitu sate pisang.

“Kalau usaha yang berbahan dasar pisang banyak, tapi kalo sate pisang, rasanya baru mizterpi,” klaim Idas. Seperti sate yang umumnya dikenal, sate pisang Mizterpi juga demikian. Hanya saja, bahan baku, resep hingga bumbunya jauh berbeda.

Menurut Idas, begitu Iltidas disapa, Mizterpi bukan sekadar sate pisang. Pasalnya, setiap tusukan sate ia taburkan dengan bumbu racikannya sendiri yang bisa dibilang belum ada di tempat lain. ““Bumbunya rahasia, tidak dijual di pasaran,” Imbuhnya. Tak berhenti sampai di situ, pilihan tepung, topping aneka rasanya juga tak kalah menggoda selera.

Kendati masih mengembangkan rasa yang sebanyak-banyaknya, hingga saat ini brand usaha yang bermaskot karakter robot warna hijau dengan senjata pedang itu, telah memiliki beragam pilihan rasa. Sebut saja, coklat, strawberry, tiramisu, durian, mangga, sambal pedas dan ice cream.

Bukan hanya itu. Selain proses pembuatannya yang mudah, yang diibaratkan Idas semudah membuat pisang goreng, penyajian Mizterpi benar-benar fresh. “Disajikan dalam keadaan panas, karena dimasak di outlet,” sebutnya. Siapa pun yang ingin membeli, kata dia, harus menunggu beberapa saat untuk mendapatkan menu Mizterpi pilihannya.

Menurut Idas, camilan Mizterpi aman untuk dikonsumsi berbagai kalangan.”Hampir semua segmen masuk, tetapi terutama untuk anak-anak dan remaja,” tukasnya. Sementara harga per porsi ia patok sebesar Rp 3 ribu. Tidaklah heran, setiap outlet Mizterpi kebanjiran pengunjung.

Karena baru diluncurkan awal bulan ini, hingga saat iniMizterpi baru memiliki 2 outlet di kota Kudus, Jawa Tengah. “Tapi Alhamdulillah sudah ada beberapa yang bergabung menjadi mitra,” kata Idas. Di Kudus sendiri ia sudah memiliki 5 mitra yang ingin mendirikan Mizterpi, diikuti oleh satu orang mitra di Banjarnegara.

“Insya Allah launching setelah Lebaran, nunggu kapan gerobak atau booth-nya ready,” imbuh Idas tentang waktu opening beberapa outlet mitranya. Hingga saat ini, ia masih membuka kesempatan menjadi mitra Mizterpi untuk siapa pun yang ingin usaha kemitraan modal kecil tetapi untungnya selangit dari seluruh Indonesia.

“Minat dari luar jawa seperti Medan, Bali, Palembang,Samarinda juga banyak tapi sepertinya nunggu setelahRamadhan. Ramadhan khusus untuk ibadah katanya,” lanjut Idas tentang beberapa orang calon mitranya yang masih mengurungkan minatnya untuk memiliki Mizterpi karena harus fokus untuk menjalankan ibadah Ramadhan tahun ini.

Idas melanjutkan, untuk menjadi mitra Mizterpi modalnya hanya untuk mematenkan merk, desain dan mascot Mizterpi. Investasi ia tetapkan sebesar Rp 7,5 juta. “Mitra sudah dapat booth lengkap plus bahan baku awal sehingga sudah siap jualan,” terangnya.

Sumber  : jpmi.or.id

Senin, 29 Juli 2013

Rupiah Datang dari Botol Bekas

Bagi banyak orang, mungkin botol-botol bekas adalah sampah yang tidak berguna. Namun bagi Ratna Miranti botol bekas adalah barang yang sangat berarti. Ia mampu mengubah barang itu menjadi sesuatu yang amat bernilai. Sebagai seorang perajin lukisan di atas kaca, botol, gelas dan barang yang terbuat dari kaca lainnya. Ratna mengawali karirnya sejak tahun 2009, bisnisnya dimulai dari sebuah kecelakaan. Ia sebelumnya berprofesi sebagai perajin batik.

“Saya dulu suka membatik. Tapi batik makin kesini makin banyak dan makin ketat. Akhirnya saya vakum 2 tahun karena mengurus anak,” tutur Ratna. Ratna memutuskan untuk memulai usahanya lagi. Namun, di pada saat ingin membeli bahan baku cat untuk batik, ia malah membeli cat untuk kaca. Ia pun iseng-iseng, mencoba melukis di atas kaca.

“Saya salah beli. Malah beli untuk cat kaca. Tapi saya coba untuk buat di botol, di gelas. Ternyata temen-temen suka,” tutur Sarjana Desain Tekstil Institut Teknologi Bandung ini.

Namun, kejadian itu tak serta merta membuat dirinya percaya diri untuk menumbuh kembangkan usahanya menjadi besar. Pada saat itu, Ratna masih menjual produknya berdasarkan pesanan konsumen.

“Saya bikin dulu, karena pada dasarnya saya hobi melukis. Waktu itu bertepatan sama Natal, jadi banyak pesanan bernuansa Natal. Pemasaran saya masih mulut ke mulut, di blog, atau bawa ke tempat ibu-ibu arisan,” papar Ratna.

Barulah pada tahun 2010, genap setelah usahanya berusia 1 tahun, dia mendapat kesempatan untuk mengikuti pameran Inacraft di Jakarta. Disitulah kesempatan besar bagi Ratna untuk memperkenalkan produknya.

Untuk mengembangkan usahanya itu dia mendapatkan suntikan modal dari PT Permodalan Nasional Madani (PNM) melalui programnya yaitu Unit Layanan Mikro Madani sebesar Rp 50 juta.

“Untuk nambah modal. Biaya bahan baku dan yang lain,” ucapnya. Sampai saat ini, omzet yang didapat Ratna dengan produknya yang dinamai ‘Meerakatja’ ini mencapai Rp 30 juta/bulan. Padahal sebelum menjadi besar, dia hanya bisa meraup Rp 3-5 juta per bulan.

“Awalnya omzet Rp 3 juta, paling tinggi Rp 5 juta. Karena jualnya juga perorangan. Modal awalnya juga pertama Rp 500 ribu,” katanya.

Untuk urusan bahan baku, Ratna mengaku tak kesulitan. Ia pun sering memesan botol-botol bekas penjual jamu. Namun untuk catnya, Ratna menggunakan cat yang diimpor dari Jerman melalui distributor langganannya. Tak hanya melukis di atas botol, Ratna pun menerima pesanan untuk melukis interior rumah berbahan baku kaca, kaca cermin, vas bunga, gelas, tempat lampu, guci dan lain sebagainya.

“Harganya dari Rp 25 ribu hingga Rp 2,5 juta,” ucapnya.

Produknya ini masih banyak tersebar di wilayah Jakarta dan Bandung. Beberapa produknya pun telah masuk pasar internasional. Namun, ia tidak secara langsung mengekspor produknya ke luar negeri, melainkan melalui perantara.

“Kalau yang namanya bener-bener ekspor sih belum. Tapi ada pesanan beberapa orang untuk tujuannya ke luar, Kanada, Jerman, tapi tetap Saya berhubungannya dengan orang Jakarta,” papar Ratna.

Sampai saat ini, Ratna memiliki 3 pegawai tetap yang bekerja sebagai pemberi warna pada karyanya. Urusan desain dan lukisan dasar, Ratna lah yang turun tangan. “Kalau pesanan lagi banyak, kita bisa sampai 15 orang,” cetusnya. Jika tertarik dengan hasil karya Meeraktja ini, anda bisa langsung datang ke Jalan Sangkuriang O-2, Bandung. 

Sumber : jpmi.or.id

Cerita Sukses Mc.Googan

Ketika masih remaja, Michael McGoogan banyak mendapatkan panggilan bila teman atau sanak keluarga memerlukan bantuan untuk mengotak-atik komputer.

Sepuluh tahun kemudian, pemuda Australia ini memiliki perusahaan dengan omzet jutaan dollar dengan ambisi menjadi perusahaan global.

Sekarang berusia 25 tahun, McGoogan mendirikan usahanya—yang sekarang bernama UberGlobal—ketika masih berusia 14 tahun di Canberra, setelah mendapatkan banyak permintaan dari berbagai kalangan untuk membuat situs atau mengajarkan cara bagaimana "bermain" internet.

"Saya dengan cepat menyadari bahwa saya bisa mendapatkan uang 500 dolar untuk membantu bisnis kecil membuat situs, dan kemudian 20 dolar setiap bulan guna menjalankannya," kata Mc Googan seperti dilaporkan situs smh.com.au

Dalam enam bulan pertama, McGoogan memiliki 500 klien, dan sadar bahwa dia tidak mampu melakukan semuanya sendirian. Karena itu, dia kemudian menyerahkan "kerjaan" membuat situs kepada teman-temannya, dan konsentrasi ke webhosting, yang sampai sekarang fondasi bisnis UberGlobal.

"Itu terjadi di awal dimulainya industri internet, dan saya beruntung berada di saat yang tepat dan bisa memberikan jasa pelayanan yang diinginkan oleh banyak orang," kata McGoogan mengenai keberhasilann bisnisnya.
Menurut laporan koresponden Kompas di Australia L Sastra Wijaya, ketika berusia 16 tahun, McGoogan mendapatkan kontrak pertama dari Pemerintah Australia, yaitu Otoritas Sungai Murray-Darling Basin.

Namun, sebagai lembaga pemerintah mereka tidak bisa berhubungan dengan bisnis individu. Oleh karena itu, McGoogan harus mendirikan bisnis resmi. Karena baru berusia 16 tahun, dia tidak bisa menjadi direktur perusahaan, dan menemukan solusinya ketika tetangganya, Michael Mossop, seorang pensiunan pegawai negeri, bersedia menjadi direktur dan menguasai saham McGoogan sampai dia berusia 18 tahun.

Mossop merupakan satu dari beberapa orang dewasa yang memberikan dukungan penuh kepada McGoogan. "Saya percaya penuh dengan modal bisnis saya, dan bisa menjual kepada orang-orang yang saya temui," kata McGoogan.

Mossop meminjamkan modal 15.000 dollar (sekitar Rp 150 juta) guna menambah modal yang sudah dikumpulkan dari sanak keluarga lain dan Mossop sekarang masih bekerja untuk UberGlobal.

Di saat bisnisnya terus berkembang, McGoogan masih juga bekerja selama 20 jam seminggu di sebuah kedai kebab Ali Baba dan sekolah penuh waktu. Dia mendapatkan dispensasi dari gurunya untuk bisa membawa HP ke dalam kelas sehingga bisa menerima telepon setiap saat webhosting yang adalah bisnis 24 jam.

"Para pelanggan saya banyak yang tidak tahu saya masih sekolah," kata McGoogan. Pada 2005, UberGlobal membeli perusahaan saingan yang lebih besar, Aussie Hosts, dan menjadi bertambah besar.

Ayah McGoogan, seorang pensiunan polisi federal Australia, setuju untuk mengagunkan lagi rumahnya sehingga putranya bisa menghabiskan 150.000 dollar (Rp 1,5 miliar) guna membeli perusahaan saingannya. Itu adalah akuisisi pertama dari beberapa yang dilakukan UberGlobal, yang sekarang memiliki omzet 13,3 juta dollar pada 2011, dan sekarang merupakan perusahaan webhosting ketiga terbesar di Australia.

McGoogan masih merencanakan membeli perusahaan lain lagi, yang segera membuatnya menjadi perusahaan webhosting terbesar di Australia. McGoogan sekarang adalah direktur eksekutif dan manajer pelaksana UberGlobal dan mengatakan akan tetap di posisi tersebut sepanjang dia merasa dia orang terbaik di sana.

Tiga dari teman sekolahnya masih bekerja di sana dan McGoogan masih senang menghabiskan waktu dengan keluarga dan pacarnya.

Di usia 18 tahun, McGoogan sudah membeli rumah sendiri dan baru-baru ini dia membeli mobil mewah Mercedez seharga 250.000 dollar (Rp 2,5 miliar). Dia masih memiliki saham 13,5 persen di UberGlobal dan sanak keluarga serta teman-temannya memiliki saham sekitar 20 persen.

Sumber : biisniskeuangan.kompas.com

Sukses Canon

Yoshida lahir di Hiroshima. Dia datang ke Tokyo sebelum menyelesaikan pendidikan sekolah menengah dan magang di sebuah perusahaan memperbaiki dan renovasi film kamera dan proyektor. Selama paruh kedua tahun 1920-an, ketika Yoshida berada di akhir 20-an, ia sering bepergian ke Shanghai, Cina untuk mendapatkan bagian yang diperlukan untuk pekerjaan. Shanghai, The “Leica Model II,” diperkenalkan pada tahun 1932 diikuti olehdebut dari “Contax Model I” pada tahun 1933. Kamera ini menjadi kebanggaan Jerman, kamera kerajaan dunia, dianggap kelas kamera super memuaskan kebutuhan para penggemar kamera di seluruh dunia, dan menerima dukungan antusias.

Untuk membuat kamera kelas tinggi 35mm Yoshida mencoba membongkar kamera Leica untuk melihat bagian-bagian yang ada didalamnya namun dia terkejut ternyata didalam kamera Leica tidak ada item khusus seperti berlian di dalam kamera. Justru yang ada didalamnya adalah bagian-bagian yang terbuat dari kuningan, alumunium, besi dan karet. Dia marah ketika mengetahui bahan murah disatukan ke dalam kamera tersebut dan dijual dengan harga yang terlalu tinggi.

Akhirnya beserta adik iparnya Uchida Saburo dan didanai oleh teman dekat Uchida, tujuan awal mereka adalah melakukan riset mengenai kualitas kamera agar bisa membuat kamera yang berkualitas, lalu pada tahun 1934 tepatnya bulan juni mereka mengeluarkan kamera pertama yang diberi nama Kwanon.

Yoshida sempat membuat prototipe kamera 35 mm range finder yang diberi nama ”KWANON”, diambil dari nama dewa dalam agama Budha. Bahkan ia memberi nama lensanya dengan nama KASYAPA, diambil dari nama murid Budha, Mahakasyapa.

Ada tiga tipe kamera Kwanon di dalam iklannya, tetapi tak satupun yang dijumpai di pasar. Ternyata ketiga tipe Kwanon itu hanyalah model kamera saja. Ada kamera Kwanon Model D yang ditemukan tahun 1955, tetapi itupun meniru Kamera Leica Model II dan bukan dibuat oleh Yoshida, tidak diketahui siapa pembuatnya.

Dalam usahanya untuk komersialisasi produk Kwanon oleh Saburo Uchida, Precision Optical Instruments Laboratory, bekerja sama dengan Nippon Kogaku Kogyo (Industri Lensa Jepang untuk Perusahaan Nikon) untuk menggunakan lensa Nikkor yang akan digunakan oleh Kwanon.

Precision Optical Instruments Laboratory dan Nippon Kogaku membuat perjanjian kerjasama untuk membuat “Hansa Canon” (menggunakan lensa standar Nikkor 50mm f/3.5). Kamera pertama Canon dipasarkan bulan Februari l936 (beberapa sumber mengatakan sudah ada di pasar bulan Oktober l935). Dalam pembuatan Hansa Canon, Nippon Kogaku bertanggung jawab membuat lensa, mount lensa, optical system dari viewfinder dan mekanis rangefinder, sementara itu Precision Optical Instruments Laboratory bertanggung jawab membuat body kamera termasuk focal-plane-shutter, rangefinder cover dan merakitnya.
Nama Kwanon kemudian diganti dengan Canon, yang diambil dari kata Canon yang berarti standar untuk judgement skrip Alkitab.

Ketika “Hansa Canon” dirilis, nama Precision Optical Instruments Laboratory tidak dicantumkan. Karena perusahaan tidak memiliki sendiri jaringan pemasaran, maka kemudian perusahaan bekerjasama dengan Omiya Shashin Yohin Co., Ltd. (Kamera Omiya dan toko asesoris). “Hansa” menjadi merk dagang Omiya, diambil dari kata Perjanjian Hansa, perjanjian di antara Uni Eropa di abad pertengahan.

Bulan Juni l936, Precision Optical Instruments Laboratory pindah ke daerah Meguro, dan berganti nama menjadi Japan Precision Optical Instruments Laboratory. Nama ini muncul di media public dalam iklan “Hansa Canon” bulan Agustus l936 yang diterbitkan oleh Asahi Camera.

Dalam perkembangannya, pertengahan tahun 1937 Canon memproduksi sendiri lensa dengan nama SERENAR. Kemudian tahun 1942, Takeshi Mitarai teman dari Saburo Uchida, menjadi president Precision Optical Instruments Laboratory. Tanggal 15 September 1947, Mitarai mengganti nama perusahaan menjadi Canon Camera Co., Ltd. Kamera dan lensa yang dibuat sejak 1953, diberi nama Canon.

Hal yang menarik dari sejarah berdirinya Canon, bahwa :
Mahalnya kamera Leica ditanggapi seorang Goro Yoshida dengan “kemarahan” yang positif kreatif. Ia berhasil membuat prototype kamera Kwanon. Tetapi terbukti, ia hanya mampu membuat prototype kamera, tetapi tidak mampu “menjual”. Disinilah peran pentingnya marketing.

Apa yang didapat oleh Yoshida? Mungkin saja hanya sebuah kebanggaan atas prototype kamera Kwanon-nya. Sedangkan orang lain yang bisa menikmati gagasan Yoshida adalah orang yang berhasil mengembangkan gagasan itu menjadi sebuah bisnis.

Jadi kalau dalam dunia bisnis, bisa jadi seorang penggagas belum tentu bisa menikmati gagasannya itu menjadi sebuah “keuntungan” bagi dirinya. Bisa saja gagasan itu “dicuri” atau dikembangkan oleh orang lain. Justru orang lain yang bisa melihat “peluang” itulah yang bisa menikmatinya menjadi sebuah “keuntungan”.

Nampaknya, penting mempunyai “team work” yang baik dalam sebuah bisnis. Seorang penggagas, bisa mendelegasikan ke anggota team yang lain yang bisa mengeksekusi gagasannya itu, dan bisa meminta anggota team yang lain untuk memasarkannya.

Memang tidak mudah membangun teamwork yang solid. Kadang-kadang gagasan yang begitu baik, tidak diterima oleh anggota team yang lain.

Dalam beberapa even wedding photography, kadangkala salah satu anggota team “lupa” akan peran yang telah disepakati dalam pengarahan. Atau bahkan ada orang lain, di luar team yang mengacau, melakukan intervensi terhadap kerja team. Yang cukup membuat pusing adalah, ”keinginan” untuk mengambil ”keuntungan” instant dari pekerjaan yang sedang ditangani, tetapi cenderung tidak memberikan komitmen yang baik untuk menghasilkan apa yang terbaik dari dirinya, akibatnya sangat merugikan team, terutama dalam rangka membangun reputasi.

Pernah saya temui, salah satu orang marketing perusahaan catering yang mau memberi job kepada kami secara rutin untuk wedding photography tanpa sepengetahuan owner perusahan catering, dengan syarat % rupiah tertentu harus dibayarkan kepada ”oknum” tersebut, secara sembunyi-sembunyi.

Wah ini godaan yang berbahaya. Walaupun dengan pendekatan yang baik, sikap kami tegas, kami menolak untuk bekerja sama dengan orang semacam itu. Alhamdulillah, saat kita ”kehilangan job order” dari orang semacam tadi, ternyata tanpa diduga, kita malah mendapatkan klien yang nilai job-nya jauh lebih besar, langsung dari klien, sehingga bebas dari ”pungutan” oknum yang tidak bertanggung jawab.

Celakanya, oknum semacam tadi justru ”menindas” kami dengan meminta harga yang murah, padahal kami tidak mau memberikan jasa yang murah, karena memang output yang kita hasilkan pun memakan biaya yang tidak murah. Kami memberikan jasa photography yang terjangkau dengan hasil yang memuaskan klien. Tujuan kami yang utama adalah kepuasan klien.

Sumber : semua-peluang.blogspot.com

Sukses Air Oxy

Milikilah MENTAL BOLA BEKEL, semakin ditekan kebawah semakin melambung ke atas!
Semua jenis pekerjaan berat sudah pernah saya lakoni. Mulai berdagang rokok, asongan, jadi tukang ojek, dan terakhir saya berjualan martabak. Saya benar-benar merasakan betapa kerasnya hidup, namun jika kita tidak pernah lelah untuk berjuang, kita pasti bisa mewujudkan impian hidup kita. 

Hanya berbekal ijazah SD, Suwaryo mencoba mengadu nasib ke Jakarta. Tentu saja dengan bekal seperti itu Suwaryo sulit mendapatkan pekerjaan. Mulai dari pedagang rokok asongan, tikang ojek, dan terakhir Suwaryo berjualan martabak. Penghasilannya dengan usaha seperti itu tentu sangat minim, pas-pasan, bahkan kerap mengalami kekurangan.Terdorong oleh keinginannya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak, Suwaryo memutuskan untuk terjun di sebuah bisnis MLM. Meski sudah menekuni bisnis MLM selama tujuh tahun, nasib Suwaryo tak kunjung berubah, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dari bisnis MLM tersebut.

Saat dikenalkan dengan Oxy oleh Bp. Wasja, Suwaryo sebenarnya menolak berkali-kali. Dia masih trauma dengan bisnis MLM yang pernah dijalaninya. Namun karena Wasja dengan ulet dan tidak kenal menyerah, akhirnya Suwaryo merasa sungkan dan memutuskan untuk bergabung di Oxy. Awalnya dia hanya mengkonsumsi Oxy untuk kesehatannya saja, tapi ketika dia mulai melihat ada bonusnya, maka ia mulai tertarik untuk menjalankannya "Tantangan yang harus saya hadapi tidak hanya berupa penolakan saja, tapi saya harus bersedia mengantarkan beberapa dus Oxy kepada downline saya yang tempatnya sangat jauh, sebab memang belum ada stockist di di daerah itu. Saya bahkan pernah mengantar 6 dus Oxy ke serang dengan naik motor yang perjalannannya memakan waktu 4 jam, masih ditambah kehujanan" ujar Suwaryo.

Perjuangan Suwaryo dalam meraih sukses di bisnis Oxy tidak hanya berhenti disitu saja. Dia harus dihadapkan sebuah kenyataan pahit bahwa banyak downline dan jaringannya yang pasif, berhenti ditengah jalan, bahkan satu grup rontok dan pindah ke MLM lain hanya karena iming-iming lebih mudah dan lebih menjanjikan daripada Oxy. Itu semua dia anggap sebagai bagian dari proses dan perjuangan meraih sukses di bisnis Oxy ini. 

Perjuangan penjual mertabak ini akhirnya membuahkan hasil yang mencengangkan, "Saya bersyukur sebab melalui bisnis Oxy akhirnya hidup saya dan keluarga saya benar-benar berubah. Keadaan financial saya berubah, dari yang pas-pasan kini menjadi lebih dari cukup. Setiap bulan puluhan juta rupiah saya dapatkan dari dari bisnis Oxy ini. Selain itu saya sudah beli rumah dan membeli mobil impian. Tidak hanya itu, saya juga mendapatkan kesempatan untuk melancong ke tiga Negara dengan naik kapal mewah Star Cruise."

Ketika ditanya apa rahasia suksesnya, Suwaryo buka kartu dan blak-blakan bercerita bagaimana dia menjalankan bisnis Oxy hingga akhirnya sukses meraih peringkat Silver Director dalam waktu yang relative singkat.
Tekun melakukan presentasi atau home sharing minimal 2 kali dalam seminggu. Lebih sering lebih baik. Home Sharing adalah kekuatan kita dalam menjalankan bisnis Oxy dan menjaga jaringan kita tetap bergerak aktif.

Tawarkan Oxy secara terus menerus kepad siapapun, diamanpun dan kapanpun juga. Awalnya mungkin terasa sulit. Namun kita harus ingat bahwa kita bisa karena terbiasa. Sebab itu lakukanlah terus menerus dan jangan pernah berhenti.

Memiliki keyakinan kepada diri sendiri bahwa Anda bisa. Asal ada kemauan pasti ada jalan. Asal mau berjuang pasti sukses bisa kia raih. Selain memiliki keyakinan diri, Anda juga harus yakin kepada PT. CJDW bahwa perusahaan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik dan membantu setiap distributor Oxy untuk meraih sukses. Keyakinan dan rasa percaya kepada perusahaan akan membuat kita melangkah dengan yakin dan berjuang dengan sungguh-sungguh.

Jangan pernah lihat kekurangan kita, tapi lihatlah kelebihan-kelebihan yang kita miliki. Jika kita fokus pada kekurangan, maka kita akan lemah semangat dan merasa tidak mampu. Namun jika kita fokus  pada kelebihan-kelebihan yang kita miliki maka kita akan selalu bersemangat untuk memperjuangkan impian kita hingga berhasil.

"Jika ingin sukses di bisnis Oxy, maka kita harus punya MENTAL BOLA BEKEL, semakin ditekan kebawah maka akan semakin melambung ke atas. Semakin banyak menghadapi tantangan, kita semakin maju dan meraih sukses yang lebih besar. Sebaliknya, jangan sampai kita punya MENTAL TELOR, saat dijatuhkan atau ditekan ke bawah maka jadi hancur berantakan."

Akhir kata, saya panjatkan puji syukur kepada Allah SWT. Saya ucapkan banyak terima kasih kepada PT CJDW yang telah memberikan saya jalan untuk mengubah hidup. Terima kasih kepada para leader yang telah membantu, membimbing dan memotivasi saya. Teristimewa kepada Bp. Wasja yang mengenalkan bisnis Oxy kepada saya. Juga kepada para downline dan jaringan saya yang telah mengantarkan sukses saya.

Sumber : tokoair.com

Bisnis Kerupuk Padang Pasir

Usaha keras Bambang Suparno (49), warga Dusun Jeruk, Desa Tugurejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, ini patut diacungi jempol. Dari usahanya berdagang kerupuk goreng pasir, mantan buruh migran ini dapat mengantongi omzet hingga Rp 90 juta per bulan.

Pekerjaan yang dilakukan Bambang adalah menggoreng kerupuk tanpa minyak. Ia mengganti minyak goreng dengan pasir halus hasil penyaringan. Dengan bantuan pengapian, kerupuk tetap mekar. Cara penggorengan inilah yang membuat jenis kerupuk ini disebut kerupuk padang pasir.

Kerupuk yang digoreng dengan teknik ini rasanya akan sedikit berbeda jika dibandingkan dengan yang menggunakan minyak goreng. Kelebihan lain adalah rendah kolesterol dan tentu saja lebih hemat dalam menekan biaya produksi. Bahkan, risiko untuk melempem dapat ditekan karena dapat didaur ulang.

Varian rasanya juga bernacam-macam. Setidaknya ada tujuh rasa yang dibuat oleh pria yang memulai usahanya sejak tahun 2001 ini. Ada rasa pedas, manis, pedas manis, terasi, rujak, seledri, bawang, serta ubi. Pemberian rasa dilakukan dengan dua cara, yaitu bumbu dicampur dengan kerupuk sebelum digoreng atau dicampur setelah digoreng.

Kerupuk yang selesai digoreng kemudian dikemas dalam plastik ukuran setengah kilogram dan panjang 30-40 sentimeter. Setiap bungkus ukuran besar ia jual seharga Rp 1.000-Rp 2.500. Tiap rasa juga memengaruhi harga.

Kerupuk yang sudah dikemas kemudian dikirim kepada agennya yang tersebar di beberapa kota, seperti Kediri, Nganjuk, Kertosono, Jombang, Bojonegoro, Tuban, Ngawi, Malang, dan Sidoarjo. Agen tersebut adalah pedagang di pusat oleh-oleh di kota masing-masing.

Bambang termasuk pengusaha yang ulet dalam bekerja. Untuk usahanya itu, ia hanya mempekerjakan empat tenaga pria yang bertugas mulai dari menjemur kerupuk hingga menggoreng. Pengemasan dilakukan oleh istri dan enam anaknya serta beberapa tenaga borongan yang juga para tetangganya.

“Kalau saya sendiri bertugas di pengaturan serta pengiriman barang ke kota-kota,” kata pemilik usaha penggorengan kerupuk padang pasir dengan merek Arofah ini, Senin (4/6/2012). Perkembangan usahanya lumayan bagus. Pada awal memulainya, ia hanya memproduksi 30 kilogram kerupuk dan itu pun untuk beberapa hari. Karena permintaan yang selalu ada, ia terus terpacu untuk mengembangkan usahanya sehingga kini produksi per hari mencapai 2,5 kuintal.

“Kalau tentang omzet begini saja, harga bahan kerupuknya per kilo Rp.12.000, lalu kalikan 250 kilogram, dikali lagi selama 30 hari. Berapa itu hasilnya, silakan dikira-kira sendiri,” ungkapnya.

Menemukan jenis usaha ini bukanlah jalan yang mudah baginya. Beberapa profesi pernah ia jalani, mulai dari kuli bangunan di negeri seberang hingga penjual bakso keliling. Pernah pula ia hendak berdagang oli pelumas sesuai ajakan rekannya, tetapi urung dilakukan karena khawatir dengan risikonya.

“Saya berjualan kerupuk karena melihat saudara saya ada di bidang ini. Setelah saya pelajari, saya menjadi yakin sehingga saya ikut terjun,” tutur Bambang sambil mengingat masa lalunya.

Sumber : inspirasiusahasukses.wordpress.com

Sukses Bisnis Bedcover Unik

Bukan hanya orang dewasa yang mendambakan kamar nyaman, anak-anak pun senang kalau kamarnya berhiaskan gambar-gambar kartun yang mereka suka. Sama-sama punya balita, tiga ibu muda: Dinar Esfandiari Santoso (38), Ira Karmawan (39), dan Rani Soegeng (38), berkolaborasi membentuk Simply Idea, yang menyediakan perlengkapan kamar tidur anak. Ide mereka sederhana, tapi bisnis ini tidak sesederhana itu. Halangan demi halangan singgah, tapi mereka tak menyerah. Malah, untuk memajukan usaha, mereka tak ragu berinvestasi lebih dengan menyewa tenaga konsultan ahli. 

Tiga bersahabat ini melihat, pemain di bisnis bedding kebanyakan dari luar negeri dan sudah memiliki nama besar. Karena itulah, mereka tak ragu terjun untuk menjadi pemain lokal yang unggul di bisnis ini. Namun, keberanian saja tidak cukup. Belum juga dimulai, rintangan sudah menghadang. Mencari pegawai yang berkualitas ternyata tidak mudah. “Kami harus berburu SDM yang memiliki keterampilan menjahit dan mengaplikasikan bordir sesuai standar kualitas yang telah kami tetapkan,” ungkap Dinar, yang menggunakan bahan polos dan memberi aplikasi lucu kesukaan anak-anak. Aplikasi inilah yang kemudian menjadi ciri khas Simply Idea.

Satu masalah teratasi, masalah berikutnya hadir: kehabisan modal. Mereka memang belum mau meminjam dari bank, karena merasa belum sanggup berekspansi lebih luas. “Selain ada bunganya, kalau ada uang, kami takut jadi terlalu gampang mengeluarkan uang, sementara kemampuan mengembalikan belum sampai di situ. Akhirnya, karena kebaikan hati seorang anggota keluarga dari partner, kami dipinjami suntikan dana, boleh nyicil tanpa bunga,” cerita Dinar. 

Tak punya background ilmu bisnis, mereka mencari-cari sendiri celah untuk memasarkan produk. Beberapa kali mereka ikut bazar yang diadakan asosiasi asing di Jakarta. Tak hanya mendapatkan konsumen, mereka berkenalan dengan peserta bazar lain dan mendapat info tentang bazar mingguan yang diadakan sebuah mal. Di sanalah nama Simply Idea mulai dikenal. “Kami lalu memikirkan cara memperluas pasar. Coba-coba, kami hubungi sebuah department store. Kebetulan, produk bedding seperti yang kami buat, belum ada di sana. Mereka tertarik, namun syaratnya, dalam waktu satu bulan kami harus melakukan beberapa revisi, sebelum produk kami bisa dipasarkan di situ, misalnya soal packaging dan cara mencuci,” tutur Dinar, yang waktu itu tak mengerti persyaratan masuk ke department store.  

Dalam berbisnis, friksi-friksi kecil di antara partner, sih, dianggap biasa. Menyatukan gagasan dari tiga kepala sudah pasti tidak mudah. Justru, mereka tak bisa membayangkan harus mengarungi perjalanan bisnis tersebut tanpa didampingi partner. Dan, mereka memang saling mengisi. Sejak awal, masing-masing sudah memilih divisi yang sesuai dengan bidang yang disenangi. “Saya menangani marketing, Rani bertanggung jawab untuk produksi, sedangkan Ira mengurus keuangan dan kepegawaian,” tutur Dinar, yang bercerita bahwa mereka bekerja secara profesional.

Menjaga hubungan baik dengan pelanggan, sangat penting artinya bagi tiga sekawan ini. Karena itu, mereka menyediakan layanan purnajual sebagai bagian dari komitmen untuk memuaskan konsumen. Bentuk layanan itu misalnya membetulkan renda bedcover yang terlepas. Tampaknya sepele, namun layanan ini membuat pelanggan Simply Idea merasa diperhatikan dan dimudahkan. “Bagusnya, hingga kini, tak banyak yang menggunakan layanan ini. Karena, produk kami berkualitas tinggi, baik dari jenis kainnya maupun kerapian jahitan di setiap bentuk aplikasinya,” kata Dinar, yang menetapkan syarat dan ketentuan untuk layanan purnajual tersebut. 

Setiap 3 bulan, mereka meluncurkan produk baru. Kalaupun mereka merilis produk dengan tema yang sama, motif yang ditampilkan pasti berbeda. Misalnya, tema mobil balap. Jika sebelumnya menampilkan motif mobil A, kini pakai motif mobil B. Bisa juga mereka merilis tema baru, contohnya princess. Semua aplikasi serba princess, dari seprai sampai kelambu, lengkap dengan aplikasi bergambar tongkat peri. Sehingga, saat akan tidur, anak itu seolah sedang berada di kastil, merasa jadi princess betulan. 

Lalu, bagaimana dengan produk di department store yang belum terjual? “Ditarik, lalu kami gelar big sale selama 4 hari. Wah… yang datang banyak banget,” tutur Dinar, senang. 


Dari keinginan memanjakan konsumen, mereka juga bisa membuat produk custom made. Biasanya, konsumennya adalah ibu-ibu yang ingin mengisi kamar anaknya. “Jatuhnya memang jadi lebih mahal, karena harus membuat pola baru. Desainnya bisa mereka gambar sendiri atau kami yang membuatkan,” kata Dinar, yang membolehkan orang memesan via website tanpa minimum order. 

Karena banyak permintaan, sejak tahun 2006 Simply Idea membuat mukena untuk anak, tetap dengan aplikasinya yang khas. Reaksi pasar luar biasa baik. Setiap awal tahun mereka menyiapkan produk mukena baru. “Dua tahun lalu, buyer menantang kami untuk membuat baju muslim anak. Kami segera mencari konfeksi yang berbeda dari konfeksi untuk pembuatan mukena. Sayangnya, karena tak mau kehilangan order, konfeksi itu melemparkan ke konfeksi lain. Hasilnya benar-benar tidak sesuai. Saat itu kami mengalami kerugian besar,” kisah Dinar, yang ketika itu gagal menyerahkan produk kepada buyer   tepat waktu.

Meski produk Simply Idea lucu-lucu, bukan berarti mereka main-main dalam berbisnis. Tak tanggung-tanggung, mereka menyewa konsultan bisnis dan keuangan, yang membantu meraih sederet target yang telah dirancang. “Konsultan itu juga mengarahkan kami dalam berstrategi, menerapkan sistem marketing paling efektif, membenahi keuangan, bahkan memotivasi kami untuk terus maju,” kata Dinar, yang baru menyadari, mereka bisa menerapkan profit sharing, setelah keuangan usaha benar-benar sehat. 

Salah satu hasil dari konsultasi tersebut, sejak beberapa bulan lalu Simply Idea menambah kekuatan lewat sistem marketing online dan offline. Divisi online lebih banyak bersentuhan dengan konsumen, misalnya memberi info tentang produk terbaru, mencari tahu animo pasar terhadap produk mereka, dan mengumpulkan konsumen ketika ada event besar semacam Inacraft atau big sale. “Sedangkan marketing offline bertugas menjual produk kepada konsumen yang tidak dapat dijangkau oleh sistem online, yang biasanya membeli dalam jumlah besar. Untuk melakukan terobosan  pasar di dalam dan  luar kota, manajer departemen ini secara bertahap akan punya 5 kaki tangan alias downline. Berbeda dari MLM, sistem marketing ini hanya punya satu layer kaki saja,” ungkap Dinar. 

Mereka bertiga pernah mengungkapkan mimpi memiliki butik sendiri. Masalahnya hanya satu, yaitu mendapatkan lokasi yang sesuai target pasar. Mereka ingin, lokasinya dilewati banyak calon konsumen berdaya beli tinggi, yang tergolong impulsive shopper. Mengapa ingin punya butik? Toh, karya mereka  sudah masuk di department store ternama dan dipajang di beberapa retail store. “Di butik itu, kami bisa lebih mengembangkan desain dan produk yang lebih variatif lagi. Konsep butik yang kami inginkan adalah toko yang cozy, simpel, clean, dan didesain dalam bentuk kamar tidur anak yang cantik,” cerita Dinar. 

Sudah selama 5 tahun Simply Idea bekerja sama dengan Mothercare Indonesia, yang seluruh produknya didatangkan dari Inggris. “Mereka membuka kerja sama dengan perusahaan lokal, untuk menjual produk yang tidak didatangkan dari Inggris. “Misalnya, kelambu. Orang Inggris kan nggak kenal kelambu atau bedong. Hanya, kelambu itu harus disesuaikan warnanya dengan boks bayi yang diterbangkan dari Inggris. Ditambah lagi, produk yang kami desain khusus untuk Mothercare Indonesia, tidak boleh ada di tempat lain,” kata Dinar, yang juga menjalankan sistem kerja sama konsinyasi dengan beberapa retail. 

Tawaran kerja sama dari luar negeri, seperti dari Australia dan Selandia Baru, terus mengalir. Jumlahnya selalu bertambah. Tentunya, menjaring buyer dari luar negeri akan memperkuat arus keuntungan. Sayangnya, sampai saat ini kerja sama itu belum bisa terwujud. “Ada beberapa kesepakatan yang sudah tercapai, misalnya tentang desain produk. Hanya, soal harga, masih juga belum ada kata sepakat. Inilah yang menjadi satu-satunya kendala. Untuk mengantisipasi masalah ini, kami sedang menyiapkan suatu konsep kerja sama baru, yang nantinya akan kami tawarkan lagi kepada para buyer asing tersebut. Bentuk kerja sama: beli putus, dengan keuntungan berimbang antara buyer dan produsen,” kata Dinar. 

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Minggu, 28 Juli 2013

Bisnis Camilan Opak

Dulu, untuk mekan sehari-hari saja sangat sulit. Bahkan Lailatin Afiffah (36) dan keluarga pernah berhutang beras kepada tetangga untuk makan sehari-hari. Itulah problem ekonomi yang dialami Afifah selama bertahun-tahun. Tapi kini warga dusun Sarimulyo, Kliber, Mojotengah, Wonosobo ini bisa dibilang telah menjadi pengusaha camilan opak singkong yang sukses, dengan omzet olahannya perbulan rata-rata Rp 30 juta.

Pada awal kehidupan rumah tangganya, Affifah didera berbagai kesulitan ekonomi. Kendati demikian, ia tetap tabah dan pantang mengeluh bahkan menangis di depan suami. “Saya tak ingin mengeluh urusan dapur di depan suami. Bagaimana pun jika sampai mengeluh justru hanya akan membuat suami kian pusing dan terbebani. Jadi, saya tetap berupaya mencari solusi sendiri,” kenangnya. 

Puncaknya terjadi pada tahun 2006. “Saat itu bulan Agustus, kebetulan anak nomor tiga harus diimunisasi polio, keesokkan harinya. Akan tetapi di dompet saya hanya tersisa uang Rp 3.000. Untuk makan hari itu, terpaksa saya harus pinjam beras pada tetengga. Dalam hati saya berdoa dengan sungguh-sungguh agar diberi pertolongan Alloh, melalui siapa saja dan apa saja,“ lanjut Affifah. Tak lama berselang, tiba-tiba seekor burung nyasar masuk ke dalam ruang tamu Affifah dan bertengger di atas meja. “Ya, memang aneh. Barangkali karena kala itu dinding rumah saya masih berlobang-lobang (yang terbuat dari anyaman bambu), sehingga memungkinkan burung nyasar ke dalam rumah.

 Namun saya yakin, burung ini adalah bagian dari jawaban Alloh atas doa saya. Dan benar saja, setelah ditangkap suami dan ditawarkan, burung berjenis anis itu ternyata bisa laku Rp 100 ribu, sehingga bisa untuk menebus hutang beras saya. Dan di saat itu pula untuk pertama kalinya saya menangis di depan suami karena saking terharunya,” kenang Afiffah.

Berawal dari peristiwa tersebut, maka afiffah makin getol untuk tulus berdoa dan tak lupa Afiffah selalu mendorong suaminya agar giat bekerja sebagai buruh bangunan. Disaat order buruh sepi, Mahrur (40), suami Afiffah juga giat bekerja sambilan membuat perabotan rumah tangga, seperti kursi, lemari, meja, dan kusen pintu/jendela. Selain memproduksi alat-alat rumah tangga, suaminya juga kerap menerima order reparasi. Silih berganti orang datang untuk membetulkan barang-barang rumah tangga yang terbuat dari kayu. 

Di tengah kondisi perekonomiannya yang mulai membaik tersebut, tiba-tiba musibah datang lagi. Alat pertukangan Mahrur yang dipakai bekerja sehari-hari dicuri maling termasuk alat-alat bermesin seperti serutan kayu yang ironisnya masih berstatus hutang senilai Rp 1,7 juta. “Jadi rumah saya yang masih berlobang-lobang tersebut dimanfaatkan pencuri untuk masuk dan mengambil alat-alat pertukangan milik suami,” kata Afiffah. Ujung-ujungnya mudah ditebak.

Tanpa alat-alat dan tanpa modal, sang suami kembali menjadi pengangguran. Namun tak berselang lama ia dan suami justru menemukan bisnis baru yakni: Jualan Opak Singkong! Idenya justru berawal dari ketidaksengajaan. Kala itu, seorang adiknya yang tinggal di beda kecamatan memesan opak sebanyak 15 kg seharga Rp 85 ribu dan Afiffah diminta mengambil pesanan di waktu yang telah ditentukan. Namun karena pembuat opak tak berada di rumah, atas inisiatif sendiri ia mengalihkan untuk mengambil dari tempat usaha lain. 

Tak pelak hal itu menyebabkan pembuat opak singkong yang pertama kali dipesani merasa dirugikan karena telah terlanjur membikin pesanan untuk adiknya tersebut. Sehingga pembuat opak singkong berharap agar barangnya tetap dibeli, walaupun hanya beberapa kilogram. Dilatarbelakangi rasa belas kasihan kepada perajin itulah kemudian Afiffah membeli opak singkong dengan uang pinjaman. Setelah dibeli, opak singkong tersebut lali di-packing dalam berbagai ukuran kemudian dijajakan keliling oleh suaminya. Dan sungguh diluar dugaan, opak singkong seharga Rp 85 ribu tersebut laku keras hanya dalam tempo sehari dan memperoleh keuntungan bersih Rp 55 ribu.

Sumber : iniopiniku.com

Jumat, 26 Juli 2013

Jatuh Bangun Bambang Krista, Bos Ayam Kampung Super

Permintaan terhadap daging ayam kampung di daerah perkotaan sangat tinggi. Dan tidak diragukan lagi potensi bisnis nya begitu tinggi. Entrepreneur satu ini mencium dan memanfaatkan peluang bisnis ini dengan baik.

Bambang Krista, seorang entrepreneur asal Solo yang tinggal di Bekasi, dengan sigap menangkap peluang ini dengan mendirikan sebuah bisnis peternakan bernama " Citra Lestari Farm " seluas 6 ha dan membangun jaringan bisnis ayam kampung di daerah Jabodetabek. Tak kurang 5 ribu ekor ayam dan 10 ribu telur ayam ia mampu jual tiap minggu. Yang ia pasok berupa banyak jenis produk, dari ayam kampung siap potong, telur ayam kampung hingga bibit ayam kampung. Untuk produk daily old chicken (DOC) perusahaan Bambang sanggup menghasilkan 7 hingga 10 ribu ekor untuk tiap minggu. Tak ayal, omset mingguan puluhan juta pun ia raup. "Omset kami mencapai Rp 20 juta per minggu," terangnya.

Sebelum berwirausaha, pria 48 tahun ini sudah banyak makan asam garam di dunia peternakan ayam. Sejak tahun 1989 ia sudah mulai bekerja sebagai tenaga ahli di peternakan ayam broiler di Jakarta Timur. Usaha tempatnya bekerja itu kolaps di saat krisis 1998 dan ia terpaksa mencari nafkah dengan berdagang sembako. Ia mendapat tawaran beternak dengan seorang rekan di tahun 1999 dan berhasil mengecap untung meski akhirnya tahun 2003 usahanya kembali runtuh karena krisis Asia. Tahun 2008 ia kembali menapaki bisnis peternakan ayam namun kali ini bukan ayam broiler yang rentan krisis.

Bagaimana ia merintis bisnis tersebut? Awalnya lulusan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro itu memiliki niat yang tinggi untuk berbisnis . Bambang mengaku telah melakukan banyak persiapan matang sebelum terjun dalam bisnis peternakan ayam ini. Salah satu aspek yang ia persiapkan ialah kualitas bibit ayam kampung yang baik. Untuk itu, Bambang tak segan turun ke lapangan demi menemukan jenis induk berkualitas bagus.

Riset yang mendalam tentang kualitas induk ayam kampung mengantarnya pada DOC ayam kampung super yang siap panen hanya dalam 2 bulan. Ketekunannya teruji saat itu karena ia harus menempuh uji coba sebanyak 6 kali demi mendapatkan DOC ayam kampung super tersebut. Jadi dapat dikatakan aral yang melintang dalam perjalanan awalnya sebagai entrepreneur tidak sedikit. Banyak waktu dan tenaga serta uang tersedot ke dalamnya.

Dengan berbekal temuannya, Bambang melangkah mantap untuk membangun usaha peternakan ayam kampung di Bekasi. Tak cuma menghasilkan ayam kampung, ia juga melaksanakan upaya pembibitan sehingga dapat dijual kembali ke peternak lainnya yang ternyata juga menggemari ayam kampung supernya itu. Dari aspek produksi, jelas ia berada di atas angin dibandingkan para pesaingnya plus harga jual ayam kampung yang lebih baik. Di pasar, selisihnya bisa mencapai Rp 9.000 per kilogram. Tentu ini menggiurkan bagi para pengusaha lain.

Setelah sukses, Bambang melakukan upaya CSR dengan membina sejumlah peternak yang bersedia dibina di Jonggol, Bogor. Daripada hanya berdagang, kini mereka juga diajari memproduksi ayam kampung. Dengan modal DOC dari Bambang, peternak binaan ini merawat semua ayam itu dan setelah siap panen, Bambang akan bantu memasarkan. Masa panen ayam kampung ini berakhir setiap 2 bulan dan setidaknya 5 ribu ekor ayam kampung siap dijual.

Ia juga turut aktif berbagi ilmu dengan peternak pemula lain melalui training-training. Semua itu agar ilmu dan pengalaman yang ia miliki sejauh ini dapat dimanfaatkan orang lain yang membutuhkan. Bahkan ia menyempatkan menulis buku peternakan ayam.

Kunci sukses Bambang di antaranya ialah kecermatan dalam membuat kemasan. Dari pengalamannya berjualan telur, ia memastikan pentingnya kemasan yang baik bagi sebuah produk. Dengan kualitas yang terjaga baik, telur produknya yang terkemas dengan lebih elegan mendapatkan tempat di supermarket. Labanya melonjak berkat kemasan yang lebih baik.

Ia juga mengatakan pengelolaan peternakan juga harus dimodernisasi jika mau untung lebih banyak dan peternakan lebih maju. Peternakan ayam kampung jangan ikut ‘kampungan’. Cara tradisional harus ditinggalkan agar proses produksi lebih cepat dan baik. Nilai ekonomis ayam yang dihasilkan juga lebih meningkat jika peternakannya lebih modern. Jangan anggap
bisnis ayam kampung bisnis recehan , ujarnya. Padahal di baliknya, perputaran uang bisnis ini begitu tinggi


Sumber : kontan.com

Rendi Koren, Pengusaha Sukses Koren Denim

Mencapai suatu kesuksesan dalam menjalankan usaha memang bukan suatu hal yang mudah, karena dalam menjalankan usaha pasti membutuhkan pengorbanan dan menemukan berbagai rintangan.  Namun apabila kita bisa menemukan dan tidak mudah untuk menyerah, maka kesuksesan akan dapat kita raih.  Hal itu yang menjadi pedoman Rendi Koren dalam mengembangkan usaha jeans-nya dengan brand Koren Denim. 

Walaupun pernah gagal dalam menjalankan berbagai usaha mulai usaha bubur ayam hingga bakso, namun dengan kegigihan yang dimilikinya membuat Rendi kini sukses dengan usaha jeans hingga produknya bisa diterima di seluruh Indonesia dan bahkan ke beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura hingga Australia.

Dipilihnya usaha jeans karena Rendi melihat hampir semua orang dalam melakukan aktivitasnya memakai celana jeans.  Dan dari situ bisa dilihat potensi usaha celana jeans sangat luar biasa, tinggal bagaimana pelaku usaha bisa mengelola usaha tersebut.

Sadar banyaknya pelaku usaha sejenis yang lebih dulu ada, maka Rendi pun memutuskan untuk membuat sesuatu yang berbeda pada produk celana jeans-nya.  Rendi mengklaim produknya memiliki eksklusivitas baik dalam bentuk, bahan, maupun modelnya.  Artinya setiap model yang diproduksinya hanya tersedia sekitar 60 pcs dan kalau sudah habis terjual, maka model tersebut tidak akan diproduksi lagi, digantikan model-model yang baru.  Prinsip ini diterapkan karena dalam menjalankan bisnisnya Rendi tidak ingin sekedar menjual celana, tapi juga menjual konsep.  Bahkan ada model celana jeans yang diproduksi sebanyak 8 pcs saja.

Agar lebih menarik minat konsumen muda, Rendi mengaplikasikan konsep-konsep unik pada setiap edisi artikel/model celana jeans yang diproduksinya.  Sebut saja edisi Go Green, Music, Katy Perry, Cold Play, Naomi, hingga yang terbaru edisi Changemaker.  Untuk memperoleh konsep dari celana jeans-nya, Rendi selalu menerima masukan dari para sahabat ataupun mencari di berbagai media.

Ada beberapa ciri khas yang dimiliki oleh jeans Koren diantaranya bagian saku belakang menggunakan karet khusus sedangkan pada bagian depan terdapat logo Koren sehingga orang yang melihatnya langsung mengetahui produk tersebut diproduksi oleh Koren.  Rendi menggunakan bahan yang diimpor dari Jepang dan beberapa bahan yang digunakan antara lain bahan water proof yang tahan air.  Konsumen saat ini menyukai jeans dengan bahan water proof ini.

Dari segi harga, menurut Rendi sebanding dengan kualitas dan eksklusivitas produk yang dibuat. Sebuah celana jeans Rendi menjual berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 650 ribu.  Bahkan untuk produk yang hanya dibuat sebanyak 8 pcs per konsep dijual dengan harga Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.

Nah, jika Anda ingin berbagi cerita dan pengalaman bersama Rendi Koren bisa hubungi Koren Denim Area Unit Bisnis Mahasiswa Universitas Kristen Maranatha Jl. Prof. drg. Suria Sumantri No. 65 Pasteur, Bandung, Jawa Barat.

Sumber : danausaha.net

Label