Selasa, 06 Agustus 2013

Sukses Telkomsel

Telkomsel merupakan operator selular terkemuka di Indonesia yang dimiliki PT Telkom dengan kepemilikan saham sebesar 65 persen dan SingTel sebesar 35 persen.

Hingga Juni 2010, Telkomsel dipercaya melayani 88,3 juta pelanggan, menjadikan Telkomsel sukses sebagai pemimpin pasar di industri telekomunikasi selular dengan pangsa pasar sekitar 50 persen.

Sebagai operator selular yang memiliki visi “Best and Leading Mobile Lifestyle and Solutions Provider in the Region”, Telkomsel menyediakan ragam pilihan layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan melalui produk paskabayar kartuHALO maupun prabayar simPATI dan Kartu As.

Komitmen kuat Telkomsel dalam menghadirkan layanan mobile lifestyle yang semakin berkualitas sangat jelas terlihat dengan secara konsisten mengimplementasikan roadmap teknologi selular terkini, yakni 3G, HSDPA, HSPA, HSPA+, serta Long Term Evolution. Tahun ini Telkomsel mengembangkan jaringan mobile broadband dengan mencanangkan 24 kota besar sebagai broadband city.

Sebagai pemimpin di industri telekomunikasi selular, Telkomsel telah menggelar 34.000 Base Transceiver Station termasuk lebih dari 6.000 Node B yang menjangkau 95 persen wilayah populasi Indonesia. Seiring diselesaikannya program Universal Service Obligation yang diamanahkan pemerintah untuk menggelar jaringan di 25.000 desa, maka layanan Telkomsel menjangkau hampir 100 persen wilayah populasi Indonesia.

Bahkan kenyamanan berkomunikasi pelanggan Telkomsel yang sedang berada di luar negeri tetap terjamin berkat dukungan 403 mitra operator international roaming dan 300 mitra operator data roaming di lebih dari 200 negara di seluruh belahan dunia.

sumber :  telkom.co.id

Sukses Bakso Ayu

SUKSES Erwin Nalfa (34) patut diajungi jempol, pria asal kampung Rime Raya Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah dalam menguji peruntungan dengan berjualan bakso di Kampung Kayukul Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah di akhir tahun 2001 lalu maju pesat berkat keuletannya.

Kesuksesan yang diraih Erwin dengan merk dagang “Bakso Ayu” saat ini bukanlah mulus-mulus saja tanpa masalah, akan tetapi suami dari Nurmala (33) harus melewati perjuangan yang begitu sulit bagi diri dan keluarganya.

Berawal dari pekerjaannya sebagai pekerja di Balai Benih Ikan (BBI) yang terletak di Kampung Simpang Kelaping Kecamatan Pegasing Aceh Tengah, merasa penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sangat dengan terpaksa dirinya harus mencari alternatif pekerjaan sampingan.

Dengan kurangnya keahlian yang dimiliki, Erwin terpaksa memulai dengan menjual bakso keliling. Namun keyakinananya untuk sukses, membuat Erwin tidak berhenti mengasah kemampuan dan keterampilan dalam mengolah pangan yang berbentuk bulat ini. Dibantu sang istri Nurmala yang juga sebagai tempat curhat Erwin dalam mengarungi getirnya hidup sehari-hari.

Dengan kesabaran dan penuh rasa cinta kasih membuat Erwin semakin bekerja dengan giat. Dengan suatu tekad kelak dirinya akan membahagiakan istri dan anak-anaknya dengan penghasilan yang cukup. Betapa tidak, awalnya Erwin harus melewati rintangan hidup yang amat berat, tubuh kecil yang kelihatan kurus itu harus mendorong gerobak yang berat, gerobak itulah yang dijadikannya sebagai mata pencahariannya sebagai tukang bakso keliling, demi mencapai mimpinya.

Erwin mengisahkan, bahwa dirinya harus mendorong gerobak itu selama tiga tahun dari 2003 hingga 2006, banyak hal yang didapati dalam mengarungi kehidupan itu. Dirinya harus mengetuk-ngetuk mangkuk baksonya sambil berteriak bakso….bakso…bakso, hingga ada orang yang memanggil untuk membeli baksonya.

“Kegembiraan yang sangat tak disaat saya dipanggil oleh pembeli,” kisah Erwin sembil menambahkan, dia selalu melayani para pembeli dengan senyuman walaupun dirinya telah terasa lelah, karena jarak tempuh jualannya tidaknya dekat.

Rute perjalanan jualan kelilingnya dimulai dari tempat tinggalnya di BBI Simpang Kelaping lalu menuju ke Kampung Pedekok, kemudian kembali lagi ke Simpang Kelaping untuk beristrirahat sejenak dan malanjukannya kembali sampai ke Kayu Mi Kampung Kayukul, sampai akhirnya dia pulang ke rumahnya.

Waktu bekerja Erwin pun bertambah, di pagi hari dirinya bekerja sebagai pekerja di BBI dan siangnya harus berkeliling menjual bakso, kelelahan dan kejenuhanpun menghampirinya. Namun apalah daya, demi menghidupi ke-3 anaknya, Ayu Listianalfa, Najwa Alfina Nalfa dan Chairil Nalfa.

“Ke-tiga anak sayalah yang menjadi sumber tenaga bagi sehingga tidak merasa kelelahan setiap harinya,” kata Erwin dengan mata berbinar mengingatnya.

Erwin mengatakan pada saat menjual bakso keliling dirinya tidak pernah mematok harga yang tentu kepada anak-anak, berawal dari rasa kasihannya dirinya memutuskan untuk dibayar berapa saja, asal anak-anak pelanggannya dapat merasa senang dan selalu menunggu kehadirannya.

Tiga tahun lamanya Erwin harus mendorong gerobak perlahan tapi pasti, dengan keyakinan yang dimilikinya, pada akhir 2007 Erwin menyewa sebuah rumah untuk dijadikan tempat berjualan baksonya, dan ternyata seiring berjalannya waktu di akhir tahun 2009 Erwin mampu membeli sepetak tanah dan mendirikan sebuah bangunan Ruko yang kini sangat ramai dikunjungi.

Kini Erwin bukanlah yang Erwin yang dulu, mendorong dan mengetuk mangkuk bakso hingga malam, kegembiraan kini menghiasi hatinya, betapa tidak dirinya telah bisa membahagikan istri dan ke-tiga anaknya dengan layak, dengan penghasilan tiga juta rupiah perharinya Erwin pun tidak merasa sombong, Erwin yang merupakan pendatang di Kayukul sangat akrab bergaul dengan para masyarakat sekitar, tak lupa pula ia selalu memberikan zakat dari hasil penjualannya apabila telah mencapai hisapnya.

Hidupnya kini telah berubah, berawal dari kerja keras dengan keyakinan dan ketekunan seorang Erwin, kini dia menjadi pengusaha bakso yang sukses dengan segudang cerita yang menarik.

Amatan Lintas Gayo, kantin bakso miliki Erwin yang dikenal dengan sebutan bakso Ayu, setiap harinya ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan, hingga jalan lurus membentang itu terlihat macet dikala sore menjelang. Jika anda belum pernah mencobanya, bukan bermaksud promise, tapi tak salah jika mau mencoba cita rasa bakso yang disajikan cukup lezat dengan harga yang terbilang murah, hanya Rp.6000/ mangkuknya.

Sumber : lintasgayo.com

Rabu, 31 Juli 2013

Sukses Sumarsono Bubur Kertas

Krisis ekonomi tahun 1997 meninggalkan pengalaman pahit bagi Sumarsono. Pemilik usaha pembuatan panel atau ornamen dinding berbahan kertas penghias ruangan berbendera Laxvin Art ini menjadi salah satu korban krisis ekonomi itu. Ia menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di salah satu perusahaan periklanan di Jakarta.

Lebih dua tahun Sumarsono bertahan hidup berbekal uang pesangon. Pada tahun 2000, ia memutuskan bekerja serabutan dengan cara menjual benda-benda seni seperti patung dan lukisan.

Keahlian dalam bidang seni ia peroleh dari keluarganya yang kebanyakan seniman. “Kebetulan saya besar dari keluarga seniman pematung,” ujar pria kelahiran Banyumas tahun 1970 silam itu.

Sembari memperjualbelikan benda seni itulah, Sumarsono bereksperimen mengolah koran bekas menjadi bubur kertas. “Saya yakin, koran bekas itu bisa diolah menjadi kerajinan yang bernilai tinggi,” kata Sumarsono.

Namun, upaya Sumarsono pertama kali membuat bubur kertas dari koran bekas itu berujung sia-sia lantaran ia belum paham dengan takaran air dengan takaran kertas agar menghasilkan bubur kertas yang seimbang.

Namun, pria yang belajar mengolah kertas secara otodidak itu pantang menyerah. Kegagalan demi kegagalan ia lewati, hingga akhirnya tahun 2007 Sumarsono sukses membuat bubur kertas sekaligus mengolahnya menjadi panel atau ornamen hiasan dinding.

Modal yang terbatas, ia pun nekad menjual sepeda motor serta meminjam modal dari kerabat untuk memulai usaha panel. “Saat itu, modal saya kumpulkan Rp 60 juta,” kata Sumarsono yang membuka usaha di Cilebut, Bogor, Jawa Barat itu.

Modal kerja itu, ia gunakan untuk membeli peralatan daur ulang, bahan baku kertas koran, cat serta biaya operasional. “Modal itu untuk membiayai produksi pertama,” ungkap Sumarsono.

Dari situ, Sumarsono bisa memproduksi 11 unit panel yang siap jual. Panel itu dipasarkan di salah satu pasar di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Hanya dalam waktu dua jam saja, sembilan lembar panel ukuran 85 centimeter (cm) x 120 cm itu laris terjual. “Omzet pertama saya waktu itu capai Rp 4 juta,” urainya.

Mengetahui karyanya bisa dijual, Sumarsono memutuskan menambah produksi. Produk panel miliknya kemudian dikenal di Cibinong, Bogor dan juga Depok. “Peminatnya juga dari perkantoran, hotel dan restoran” tutur Sumarsono.

Karena sering mendapat pembeli dari perkantoran, membawa Sumarsono berkenalan dengan pejabat pemerintah. Ia bahkan sempat dipercaya menjadi pembicara dalam acara kewirausahaan di salah satu kementerian.

Hingga kini, pria yang hobi jalan-jalan itu bisa menjual panel berukuran 45 cm x 45 cm sebanyak 400 buah per bulan. Untuk setiap panel, Sumarsono menjualnya seharga Rp 150.000 per panel.

Dalam sebulan, Sumarsono bisa meraup omzet hingga Rp 60 juta. Dari total omzet tersebut, ia mengaku mendapatkan margin usaha hingga 50%. “Labanya bisa mencapai Rp 30 juta,” ujarnya terus terang.

Dalam bekerja, Sumarsono dibantu oleh tiga orang karyawan. Tugas mereka adalah untuk membuat bubur kertas, proses cetak, penjemuran hingga pengecatan panel. “Proses penjemuran dan pengeringan cat menggunakan tenaga matahari,” jelas Sumarsono

Sukses dalam meniti karier bukan berarti Sumarsono lupa diri. Belakangan ia sibuk memberikan motivasi kepada orang lain untuk melakukan wirausaha seperti dirinya.

Ia mengaku tidak pelit dalam membagi dan memberikan ilmu cara mengolah kertas menjadi panel dengan benar. “Saya akan mengajarkan mereka yang mau belajar,” ujarnya

Sumber : jpmi.or.id

Bisnis Lada

Karena volume panen mulai berkurang, harga lada mengalami kenaikan. Hari ini, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) melaporkan harga lada hitam di Kabupaten Kepahiang, provinsi Bengkulu naik 13,3% menjadi Rp 34.000 per kilogram (kg) dari harga sebelumnya Rp 30.000 per kg.

Kenaikan harga lada di dalam negeri terjadi karena stok pasokan dari petani tidak banyak perubahan. Pasokan lada hitam dari petani sebelumnya terganggu akibat tingginya curah hujan di daerah produsen. Sementara, kebutuhan lada hitam meningkat dari pedagang besar yang ada di Lampung dan Sumatra Barat.

Sementara harga lada putih juga ikut naik menjadi Rp 73.000 dari sebelumnya bertahan Rp 70.000 per kg. Saat ini, areal perkebunan lada di Provinsi Bengkulu mencapai 10.254 hektare (ha) dengan produksi 4.110,54 ton per tahun.

Kondisi kenaikan harga lada juga tercermin dari penutupan perdagangan di NCDEX (National Commodity and Derivatives Exchange) India akhir pekan lalu (25/3).

Harga lada untuk penyerahan April 2011 ditutup pada level harga INR 23.850 per kg dari harga sebelumnya INR 23.500 per kg. Kenaikan harga lada terpengaruh pasokan lada dunia yang berkurang.

Penurunan produksi karena panen lada India telah usai, sementara Vietnam baru akan memulai tanam. Analisa dari BAPPEBTI menyebutkan output panen lada dari kedua negara itu akan lebih rendah musim panen nanti.

Sementara itu produsen lainnya seperti Brasil malah mencatat kenaikan ekspor. Bulan Februari 2011 lalu, Brasil mengekspor 2.791 ton lada senilai US$ 13 juta, meningkat dari periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 2.062 ton senilai US$ 6,4 juta.

Ekspor lada Brazil bulan Februari itu juga lebih tinggi sebesar 24% dibandingkan dengan ekspor pada Januari 2011. Selama Januari – Februari 2011, total ekspor lada dari Brasil mencapai 5.039 ton senilai US$ 23,4 juta. Bila dibandingkan dengan ekspor pada periode yang sama tahun lalu, terjadi peningkatan sebesar 10%.

Sumber : jpmo.or.id

Sukses Ibu Tjoan Nie

Bercita-cita menjadi seorang pedagang sukses dan memiliki kehidupan ekonomi yang mapan tentunya menjadi keinginan setiap orang. Tidak mustahil, itu semua tentu saja bisa menjadi kenyataan asalkan dibarengi dengan usaha dan doa. Sebagai contoh kita lihat para pedagang lokal yang sukses merintis usahanya dari 0 (nol). Usaha yang mereka miliki sekarang ini bukanlah warisan dari orang tuanya, tetapi murni hasil dari kerja keras dirinya sendiri. Mungkin sepenggal kisah pedagang kelapa parut asal Kp. Kedaung Rt.03 Rw.02 Kel. Kedaung Barat Kec. Sepatan timur tangerang yang satu ini bisa menginspirasi anda untuk menjadi seorang pedagang yang sukses. Yuk, langsung saja kita simak penggalan kisahnya.

Pedagang wanita yang satu ini adalah seorang putri dari keluarga yang memprihatikan. Dia adalah TJOAN NIE. Orangtuanya bukanlah dari kaum berada. Alasan itulah yang memacu dirinya untuk berjualan kelapa yang tepatnya dia mulai dari tahun 2005. Dengan bermodalkan Rp. 500.000,- dia membeli kelapa langsung dari petani kelapa yang pada saat itu harganya Rp. 1000,- perbuah. Usaha dagang kelapa bu Tjoan Nie ini juga di imbangi oleh pak Yadi suaminya yang berdagang sayur mayur. Usaha dagang suami istri ini berjalan lancar hingga tahun 2008.

Pada tahun 2008 ini pulalah awal bergabungnya bu Tjoan Nie bersama 9 orang ibu-ibu lainnya yang mempunyai usaha dagang menjadi nasabah pinjaman serba usaha Dian Mandiri. Bahkan ibu Tjoan Nie terpilih sebagai bendahara di kelompoknya yang bernama SONY. Dengan seizin suami bu Tjoan Nie memutuskan untuk pinjam sebesar Rp.1000.000,- untuk tambahan modal usaha yang dijalani bu Tjoan Nie dan suaminya yang bernama pak Yadi. Melihat dagang kelapa dan dagang sayur mayur bu Tjoan Nie dan suaminya semakin berkembang ditambah lagi pinjaman yang didapat bu Tjoan Nie meningkat sampai Rp.1.500.000,- tahun 2009 maka suami istri ini memutuskan untuk mengembangkan usaha dengan membuka bengkel motor kecil-kecilan yang di kelola oleh suami bu Tjoan Nie dengan didasari oleh kemampuan (skill) suami ibu Tjoan Nie dalam hal bongkar pasang mesin motor.

Walaupun bertambah sibuknya bu Tjoan Nie berdagang namun dia tidak pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai bendahara di kelompok SONY. Bu Tjoan Nie termasuk orang yang aktif, tegas dan konsisten dalam hal mengelola pembayaran angsuran kelompok. Uang angsuran kelompok tetap di bayarkan sesuai dengan hari yang telah menjadi kesepakatan di Perjanjian Hutang. Bahkan apabila ada anggota yang tidak bisa membayar angsuran maka dia mengambil sikap untuk mengarahkan anggotanya untuk menanggung renteng anggota yang tidak bisa membayar angsuran tersebut dengan terlebih dahulu menegur dengan baik anggota yang tidak bisa membayar tersebut untuk menetapkan hari pembayaran tunggakannya.

Sampai saat ini total pinjaman ibu Tjoan Nie sudah mencapai Rp.10.000.000,- dengan kalkulasi pinjaman Diman Plus Rp.3.000.000,-, Gold Client Rp.5.000.000,- serta Education Rp.2.000.000,-. Pinjaman ibu Tjoan Nie ini juga bukan hanya sekedar meminjam tetapi dapat di pertanggung jawabkan dalam hal pemakaiannya yang benar-benar digunakan untuk usaha kelapanya maupun usaha bengkel motor yang dikelola pak Yadi serta dapat di pertanggung jawabkan melalui kualitas pembayaran angsuran ibu Tjoan Nie yang selalu tepat hari dan tanggal perjanjian.

Keinginan untuk sukses yang ada di benak ibu Tjoan Nie bukan hanya semata-mata keinginan sukses dari segi usaha yang dimiliki ibu Tjoan Nie dan pak Yadi tetapi keinginan untuk sukses memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Ibu dengan 5(lima) orang anak ini berharap dan berusaha agar ke-5(lima) anaknya dapat bersekolah sampai tingkat sarjana.

Kalau ditanyakan mengenai kehidupan bersosial keluarga bu Tjoan Nie dengan masyarakat sekitar, tentu saja tidak perlu disangsikan lagi. Salah satu contohnya ketika terjadi suatu keadaan dimana tetangga di sekitar lingkungan Ibu Tjoan Nie yang sedang kemalangan(berduka cita) maka Bu Tjoan Nie dan suami mengambil sikap untuk turut membantu karena ibu Tjoan Nie sadar bahwa setiap orang tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain.

Satu hal yang tidak bisa Ibu Tjoan Nie pungkiri dan lupakan bahwa peningkatan usaha kelapa parut Ibu Tjoan Nie dan bengkel Motor suaminya selain berkat dari yang Maha Pencipta juga tidak terlepas dari bantuan pinjaman Koperasi Dian Mandiri. Secara Khusus Ibu Tjoan Nie dan pak Yadi mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Koperasi Dian Mandiri atas Kepercayaan Koperasi Dian Mandiri untuk memberikan tambahan modal untuk usaha mereka. Ibu Tjoan Nie dan pak Yadi juga tak lupa mendoakan agar Koperasi Dian Mandiri semakin maju dan bertambah besar sehingga mampu menjangkau masyarakat di wilayah lain yang juga membutuhkan tambahan modal usahanya. Kritik dan saran juga tak lupa disampaikan ibu Tjoan Nie terutama di dalam hal tempo pelunasan angsuran yang kalo boleh diperpanjang beberapa bulan.

Demikianlah penggalan kisah sukses yang disampaikan oleh ibu Tjoan Nie dengan harapan bahwa kisah sukses ini bisa menginspirasikan orang-orang lain yang berkeinginan untuk keluar dari belenggu kemiskinan untuk kehidupan yang mapan.

Sumber : dianmandirifoundation.org

Sukses Makanan Tradisional

Salah satu makanan tradisional yang cukup popular di Indonesia adalah pisang goreng. Menu yang akrab bersanding dengan minuman hangat seperti kopi atau teh ini, cukup mudah ditemui di mana saja. Selain karena cara pembuatannya yang tidak begitu sulit, pisang goreng adalah salah satu jenis jajanan yang dijual hampir diseluruh pelosok nusantara. Namun tak bisa dipungkiri juga, pisang goreng bukanlah termasuk jenis makanan yang mewah dan memiliki nilai jual yang tinggi. Hal itulah yang coba diubah oleh Ery Ashonk dengan pisang goreng Ta B’nana, kreasinya. Dengan inovasi produk dan kemasan, Ery mencoba menaikan kelas pisang goreng menjadi jajanan yang cukup modern yang kaya akan rasa.

Dengan kreativitasnya Ery mendesain pisang gorengnya dengan aneka bentuk, seperti dipotong melintang, memanjang, dan sebagainya. Dari sinilah lahir pisang goreng berbentuk chip, stick, dan sebagainya. Ery juga menawarkan produknya dalam bentuk kemasan seperti kemasan kentang goreng di jaringan restoran fast food internasional. Kini, dengan brand Ta B’nana, Ery telah melebarkan pasar bisnisnya dengan memiliki 30 gerai penjualan.

Khususnya untuk pelanggan di Jakarta, pisang goreng Ta B’nana bisa dijumpai di beberapa gerai yang selalu dipadati pengunjung. Seperti gerainya di Kelapa Gading, Jakarta Utara yang per harinya bisa menjual sekitar 200an pisang goreng. Selain itu, gerai pisang goreng Ta B’nana juga bisa dijumpai di Bintaro, Jakarta Selatan dan bandara Soekarno Hatta.

Ery pertama kali berjualan pisang goreng Ta B’nana tahun 2005.  Ide berjualan pisang goreng ini sebenarnya berangkat dari pertemuan dengan kenalannya yang memiliki kebun pisang di Pontianak. Pria berusia 52 tahun ini melihat banyak sekali pisang yang terbuang atau untuk makanan ternak.Lalu ia dan istrinya, Mia, berfikir untuk mengolah pisang-pisang itu agar memiliki nilai tambah lebih. Kebetulan keluarga Ery suka makan di restoran ayam goreng. Dari sini lalu timbul pemikiran untuk mengolah pisang menjadi seperti ayam goreng, renyah, dan garing.

Dari riset kecil-kecilan maka lahirlah pisang goreng Ta B’nana. Kelebihan pisang goreng Ery karena kadar minyak gorengnya rendah sehingga tidak menodai pembungkusnya atau lengket di tangan. Selain itu juga tahan lama kerenyahannya, bisa sampai bertahan hingga 3 jam.

Ada pun pisang yang digunakan untuk membuat pisang goreng Ta B’nana adalah pisang gepok. Setelah disayat tipis-tipis menjadi 4-7 potong, pisang dibentuk menyerupai kipas. Kemudian diberi tepung lalu digoreng. Hanya saja untuk pisang goreng Ta B’nana hasil ‘modifikasi’ baru ini, dua potong pisang ditumpuk menjadi satu, sebelum akhirnya digoreng. Umumnya orang membuat pisang goreng dibuat setipis mungkin. Ery kebalikannya, pisang goreng harus besar dan ada wujud pisangnya.

Hal lainnya yang membedakan pisang goreng Ta B’nana adalah proses menggorengnya. Pisang goreng Ta B’nana digoreng dua kali. Bahkan agar lebih garing, ada yang digoreng 3 kali. Setelah diberi tepung dan dilumuri dengan tepung kering, pisang digoreng setengah matang. Setelah itu baru digoreng kembali untuk membuat garing pisang bagian dalamnya. Sebelumnya minyak dikasih daun pandan agar pisang goreng jadi wangi.

Dalam mengenalkan prodaknya, Ery tidak lantas mengalami kemudahan. Ia pun harus berjualan dari pintu ke pintu, untuk memperkenalkan pisang goreng kreasinya. Per harinya ia hanya mampu menjual 20 potong pisang goreng. Pembeli umumnya tidak terlalu familiar dengan bentuk pisang goreng kreasi Ery yang beda dengan pisang goreng pada umumnya.

Perlahan tapi pasti, prodaknya mulai dikenal dan disukai oleh masyarakat. Ery pun memberanikan diri untuk menyewa kios di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Respon masyarakatpun sangat baik. Pisang goreng kreasi Ery ternyata digandrungi oleh masyarakat, khususnya kalangan anak muda. Ery pun melihat potensi bisnis ini, dan mengarahkan pasarnya kekalangan anak muda dengan menciptakan inovasi produk dan kemasan yang trendi dan gaul.

Untuk melebarkan sayap bisnis, Ery pun menawarkan bisnis pisang gorengnya kepada calon mitra yang tertarik untuk bekerjasama. Investasi yang ditawarkan pun cukup terjangkau. Untuk tipe booth ditawarkan dengan investasi Rp 6.500.000 (indoor) dan Rp 7.500.000 untuk tipe outdoor. Harga tersebut sudah termasuk joining fee selama 2  tahun beserta peralatan penggorengan.

Meskipun kini sudah banyak kompetitor lain yang juga menawarkan produk serupa, Ery merasa tidak takut akan tersaingi. Ia percaya, produk pisang goreng Ta B’nana miliknya kini telah memiliki pelanggan yang loyal dan percaya akan kualitas produk miliknya. Dengan produk pisang goreng Ta B’nana, Ery yakin makin banyak lagi produk tradisional yang bisa bersaing secara moderen, dan bisa membuka celah usaha bagi calon wirausahawan yang tertarik untuk terjun di bidang kuliner. 

Sumber : wordpress.com

Arella Big Size

Memulai sebuah bisnis akan lebih mudah dilakukan jika Anda jeli melihat peluang yang ada. Selanjutnya, Anda harus berani mengembangkan peluang tersebut. Termasuk, jika Anda harus banting setir dari pekerjaan atau bisnis yang sedang dijalani saat ini. Inilah yang dilakukan pebisnis pakaian extra large berikut ini. Langkanya pakaian berukuran ekstra besar di Indonesia, menjadi peluang usaha. Moto mereka:  semua wanita layak tampil modis. 

Saya Liena Sasmitapura memulai usaha ini sejak tahun 2002. Bisa dibilang, bisnis ini adalah hasil dari analisis pribadi, yaitu banyaknya orang yang tubuhnya berukuran XL ke atas, namun toko penyedia pakaian untuk mereka sangat minim. Selain itu, saya perhatikan, seseorang bisa dengan mudah bertambah gemuk setelah menikah, atau karena faktor usia dan pola makan yang salah. Karena dasar inilah, saya beralih dari bisnis pakaian bayi ke bisnis baju berukuran besar. Awalnya memang sempat ragu, namun, melihat pangsa pasar yang menjanjikan, kepercayaan diri saya meningkat. 

Saya memiliki 3 toko yang tersebar di Bandung dan Jakarta. Dalam waktu dekat, saya akan membuka cabang di Solo. Misi saya, memiliki minimal satu toko di kota-kota besar di Indonesia. Saya memilih membangun banyak toko karena, menurut saya, pelanggan akan lebih puas bila datang sendiri ke toko. Mereka bisa langsung melihat bahannya, jahitannya, dan langsung mencobanya. Apalagi untuk yang memiliki tubuh besar, perlu ketelitian lebih saat membeli pakaian. Namun, jika ada pelanggan dari luar kota yang akhirnya berteman lewat BBM dan memesan melalui media tersebut, tetap saya layani.

Yang paling sulit adalah mempertahankan pelanggan. Membuat mereka datang pertama kali ke toko adalah hal yang mudah. Yang sulit adalah memengaruhi mereka agar datang lagi. Untuk itu, saya mencoba membaca selera fashion mereka. Saya menyediakan pakaian dengan berbagai model dan warna agar selera orang yang bermacam-macam itu bisa terpenuhi. Prinsip saya, jangan sampai orang yang masuk ke toko tidak menemukan yang ia cari. Untuk itulah, saya juga menyediakan pakaian dari ukuran L hingga 10L.

Saya malah senang dengan banyaknya pesaing atau pengikut bisnis serupa. Dengan begitu, pelanggan bisa mencoba ke tempat lain dan bisa membandingkan kualitas produk saya dengan yang lain. Strategi saya adalah tetap menjaga kualitas barang agar tak mengecewakan pelanggan. Selain itu, saya berani tampil beda. Saat banyak yang mengatakan bahwa tubuh gemuk hanya pantas mengenakan warna hitam, saya malah berani bermain di warna cerah. Ternyata banyak yang suka. Yang penting modelnya tak membuat tubuh mereka terlihat  makin gemuk. 

Modal dan omzet sekitar Rp50 juta - Rp100 juta untuk membeli kain. Untuk toko, saya memanfaatkan rumah pribadi yang sudah dijadikan sebagai toko bisnis pertama. Omzet yang saya dapatkan adalah Rp250 juta - Rp350 juta per bulan. 

Tip Sukses
1. Selalu perhatikan kualitas barang. Patok harga yang terjangkau tanpa mengurangi kualitas barang.
2. Pelayanan adalah ujung tombak bisnis. Lakukan briefing bersama SPG sebulan sekali, bangun hubungan kekeluargaan dan perhatikan kesejahteraannya. Selain gaji tetap, saya rutin memberi bonus dan komisi  tiap bulannya. Kalau ada SPG yang berulang tahun, kami selalu merayakan kecil-kecilan di toko. Kalau mereka senang, mereka juga akan melayani pelanggan dengan senyum. 

Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id

Label